www.rincilokal.id – Kisah tragis tentang Mat Sam mengungkap realitas kelam di balik temuan harta karun yang sebenarnya. Di tengah kesulitan hidup di Kampung Cempaka, Kalimantan Selatan, Mat Sam bersama teman-temannya secara tidak sengaja menemukan intan raksasa berat 166,75 karat pada tahun 1965. Diharapkan penemuan ini akan mengubah nasib mereka, namun kenyataannya sangat berbeda dan lebih pahit dari yang diperkirakan.
Pada tanggal 26 Agustus 1965, momen bersejarah itu dimulai saat mereka sedang berupaya mencari intan. Dengan warna biru kemerahan yang begitu menawan, intan tersebut menjadi sorotan tidak hanya bagi mereka, tetapi juga bagi masyarakat dan pemerintah setempat. Kekaguman dan ketertarikan ini akhirnya membawa mereka pada sebuah takdir yang mengubah hidup.
Reaksi publik sangat luar biasa setelah penemuan itu. Salah satu surat kabar terkemuka menyebut bahwa nilai intan tersebut bisa mencapai puluhan miliar rupiah, terutama karena ukurannya yang hampir menyamai berlian legendaris ‘Koh-i-Noor’. Namun, relasi masyarakat dan pemerintah mulai terguncang ketika penemuan ini justru menjadi bencana bagi Mat Sam.
Dari Harta Karun Menjadi Cerita Pahit
Setelah ditemukannya intan raksasa tersebut, pemerintah mengambil alih dan mengklaim bahwa dengan berbuat demikian, mereka akan menggunakan intan untuk membangun Kalimantan Selatan dan meningkatkan teknologi penggalian. Hal ini menjadi langkah awal dari penderitaan Mat Sam dan rekan-rekannya.
Diberitakan oleh media, intan itu diambil dan dikirim ke Jakarta untuk diserahkan kepada Presiden Soekarno, tanpa memberikan hak kepada penemunya. Tindakan ini menimbulkan ketidakpuasan yang mendalam di hati Mat Sam, yang merasa bahwa hasil kerja kerasnya diambil tanpa keadilan.
Dalam upaya untuk mendapatkan keadilan, Mat Sam secara resmi meminta janjinya untuk mendapatkan hadiah perjalanan ibadah haji yang dijanjikan oleh pemerintah. Namun, harapan yang menggembirakan itu berujung pada kekecewaan karena janji tersebut tak kunjung terpenuhi hingga dua tahun kemudian.
Sengsara di Balik Kekayaan yang Hilang
Setelah menanti dengan penuh harapan, Mat Sam dan teman-temannya mulai menyuarakan kondisi mereka. Mereka tak lagi mampu bertahan dalam kemiskinan akibat pengambilan paksa intan yang mereka temukan. Sejumlah laporan media mengungkapkan, kehidupan mereka menjadi sangat sulit dan jauh dari kesejahteraan yang semestinya mereka nikmati.
Penemuan yang seharusnya membawa keberuntungan, justru menjadikan mereka contoh nyata betapa sistem dapat merampas hak individu. Seiring berjalannya waktu, harga intan yang mereka temukan pun semakin meningkat, sejalan dengan angka inflasi dan nilai tukar yang berubah.
Diperkirakan bahwa intan seberat 166,75 karat tersebut bernilai Rp3,5 miliar pada tahun 1967. Dengan angka tersebut, jika dihitung berdasarkan nilai emas sekarang, intan itu bisa mencapai nilai fantastis sekitar Rp15,22 triliun. Tentu, ini menjadi sumber penyesalan yang mendalam bagi Mat Sam.
Harapan Terakhir untuk Keadilan
Di tengah serangkaian kegagalan tersebut, Mat Sam berupaya mendapatkan keadilan dengan bantuan kuasa hukum. Memohon pada pemerintah untuk meninjau kembali kasusnya, dia berharap pemerintah dapat melihat dengan lebih adil tangan yang melakukan pengambilan tersebut. Dia percaya bahwa keadilan masih mungkin bagi dirinya dan rekan-rekannya.
Dukungan dari kuasa hukum tersebut menjadi harapan terakhir bagi mereka untuk mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Namun, tidak ada informasi lebih lanjut mengenai apakah masalah ini diteruskan dan diproses oleh pemerintah. Tera catatan sejarah di masa depan menjadi samar karena minimnya dokumentasi dan transparansi tiga tahun setelah itu.
Kisah Mat Sam bukan saja kisah tentang kehilangan dan penderitaan, tetapi juga refleksi tentang bagaimana kekuasaan dapat merampas hak individu. Cerita ini terus menjadi pelajaran berharga bagi banyak orang tentang pentingnya keadilan dan perlindungan terhadap penemu dan individu yang berusaha keras.