www.rincilokal.id – Di berbagai lokasi eksplorasi minyak dan gas di Indonesia, malam hari masih terlihat nyala api oranye yang menjulang dari struktur flare stack. Kilatan tersebut bukanlah lambang kemajuan, melainkan cerminan dari sumber daya yang terbuang dan peluang ekonomi yang seharusnya dimanfaatkan.
Pembakaran gas buang, atau flare gas, menjadi ironi dalam konteks energi nasional. Di satu sisi, pemerintah berupaya meningkatkan penggunaan energi terbarukan, tetapi di sisi lain, jutaan meter kubik gas dibakar setiap tahun tanpa dimanfaatkan, mengakibatkan emisi karbon yang merugikan lingkungan dan menciptakan potensi ekonomi yang hilang.
Berdasarkan data satelit yang diambil dari lembaga internasional, Indonesia diketahui masih membakar sekitar 1,7 miliar meter kubik gas setiap tahunnya. Jumlah tersebut setara dengan 162 juta standar kaki kubik per hari, cukup untuk menyediakan listrik bagi setengah juta rumah tangga jika dimanfaatkan dengan baik.
Tak hanya itu, jika gas ini dapat dijual dengan estimasi harga enam dolar AS per juta BTU, total nilai yang dapat dicapai adalah sekitar US$ 360 juta. Ini belum termasuk potensi nilai yang diperoleh dari kredit karbon akibat penghindaran emisi yang dapat mencapai sembilan juta ton CO₂—dengan demikian, nilai tambahnya bisa melambung tinggi.
Masalah Pembakaran Gas Buang dalam Keberlanjutan Energi
Praktik flaring bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga merupakan isu tata kelola sumber daya yang kompleks. Di tengah tantangan pasokan gas domestik dan tekanan fiskal akibat subsidi energi, gas yang dibiarkan terbakar adalah sebuah kesempatan ekonomi yang disia-siakan.
Walau pemerintah telah berinisiasi dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 30 Tahun 2021 yang mewajibkan kontraktor untuk menawarkan gas buang kepada pasar atau pihak ketiga, tantangan tetap ada. Regulasi ini memberikan dasar hukum yang kokoh dan membuka kemungkinan untuk adopsi teknologi baru serta model bisnis yang bisa meningkatkan nilai tunai dari flare gas.
Di lapangan, beberapa inisiatif telah menunjukkan perkembangan yang menjanjikan. Misalnya, Pertamina menjalankan proyek flare gas–to–power, mengganti generator diesel dengan turbin mikro berbasis gas buang di beberapa wilayah kerja. ExxonMobil di Blok Cepu juga hampir menciptakan situasi tanpa flaring dengan memanfaatkan gas buang untuk keperluan operasional.
Akan tetapi, perlu ada skema monetisasi yang lebih luas agar dampak positifnya bersifat sistemik. Di tengah pertumbuhan ekonomi digital, potensi pembangkit listrik skala kecil sangat dibutuhkan. Dengan kapasitas antara satu hingga dua puluh megawatt, flare gas bisa menjadi solusi lokal yang efektif di daerah terpencil.
Bagi lapangan migas yang berlokasi jauh dari infrastruktur pipa, teknologi seperti modular CNG, mini-LNG, dan mini-GTL kini semakin layak digunakan secara komersial. Pemerintah juga merencanakan pembangunan terminal mini-LNG di wilayah timur Indonesia, memanfaatkan flare gas untuk menggantikan penggunaan solar di klaster smelter nikel.
Keuntungan Ekonomi dari Pemanfaatan Gas Buang
Sepanjang pengalaman, manfaat pemanfaatan flare gas sudah sangat jelas. Pertama, pendapatan dari penjualan gas dan produk turunannya akan meningkat, memperkuat pendapatan pajak dan bagi hasil migas yang diterima pemerintah.
Kedua, perusahaan dapat menghindari pajak karbon sesuai dengan peraturan yang berlaku, yang bisa memberikan penghematan besar bagi mereka. Misalnya, dengan pengurangan emisi sekitar sembilan juta ton CO₂, perusahaan dapat menghemat hingga Rp270 miliar.
Ketiga, proyek untuk mengurangi flaring sangat berpotensi menghasilkan kredit karbon bernilai tinggi, yang diperkirakan bisa mencapai US$ 30 per ton CO₂ menjelang tahun 2040. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk mendapatkan akses pasar karbon, proyek ini menjadi lebih menarik untuk dijalankan.
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa kombinasi regulasi ketat dan insentif fiskal dapat mendorong perubahan efektif. Negara-negara seperti Norwegia telah berhasil melarang flaring rutin dan mengurangi emisi gas buang hingga 80% melalui mekanisme penalti karbon dan kewajiban pemanfaatan gas.
Kazakhstan pun menerapkan rencana pemulihan gas sebagai syarat pengembangan lapangan dan berhasil memangkas flaring hingga 75% dalam periode satu dekade. Ini menunjukkan bahwa regulasi yang mendorong pemanfaatan gas buang bisa behasil diimplementasikan.
Pelajaran yang Dapat Diambil untuk Masa Depan Energi Indonesia
Pelajaran yang diambil dari pengalaman negara lain bisa memberi petunjuk bagi Indonesia. Pertama, target zero flaring sebaiknya menjadi salah satu indikator kinerja utama dalam kontrak gross–split migas, bukan sekadar sebagai opsional.
Kedua, insentif seperti royalty credit dapat diberikan untuk kontrak yang berhasil memanfaatkan gas buang untuk kepentingan masyarakat, terutama untuk wilayah yang terisolasi.
Ketiga, Otoritas Jasa Keuangan sebaiknya memasukkan proyek flare-to-power dalam taksonomi pembiayaan yang ramah lingkungan agar mendapatkan akses kredit yang lebih terjangkau dan berjangka lebih panjang.
Di samping itu, diperlukan pasar karbon domestik yang kuat untuk mengoptimalkan pemanfaatan gas buang. Mempercepat pengoperasian sistem perpajakan dan mempermudah verifikasi proyek flare reduction merupakan langkah penting untuk menarik pelaku industri.
Dengan demikian, setiap langkah yang strategis menuju pemanfaatan gas buang ini tidak hanya mendorong keberlanjutan lingkungan, tetapi juga membawa manfaat ekonomi yang signifikan bagi Indonesia.