www.rincilokal.id – Pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai pencabutan empat izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan Raja Ampat disambut antusias oleh masyarakat. Langkah tersebut diharapkan dapat melindungi keindahan lingkungan serta kekayaan keanekaragaman hayati laut yang menjadi daya tarik dunia.
Akan tetapi, perkembangan di lapangan menunjukkan resiko konflik yang lebih dalam. Para penambang lokal merespons dengan memblokade akses wisatawan, menciptakan ketegangan antara pelestarian lingkungan dan tuntutan ekonomi masyarakat setempat.
Kondisi ini memperlihatkan tantangan lebih lanjut dalam tata kelola izin pertambangan di Indonesia. Pertanyaan muncul mengenai komitmen pemerintah untuk menjaga ekosistem yang rapuh sementara juga mendengarkan suara masyarakat yang tergantung pada sektor ini.
Regulasi Tambang di Indonesia yang Selalu Berubah
Rezim perizinan tambang di Indonesia telah melalui berbagai perubahan yang kompleks. Dari konvensi asal seperti Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), kini kita masuk ke fase Izin Usaha Pertambangan (IUP) berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2009.
Dengan desentralisasi yang terjadi setelah reformasi, munculnya fenomena “banjir izin” membuat banyak izin dikeluarkan tanpa mempertimbangkan kajian lingkungan yang mendalam. Akibatnya, tumpang tindih peraturan mulai menjadi masalah serius yang sulit diatasi.
Berbagai undang-undang, seperti UU Kehutanan dan UU Lingkungan, seharusnya membatasi aktivitas pertambangan di area yang tidak sesuai. Namun, minimnya koordinasi lintas sektor sering kali mengakibatkan pelanggaran terhadap aturan tersebut.
Pencabutan Izin: Proses dan Dampaknya
Di awal 2022, pemerintah melakukan pencabutan lebih dari 2.000 izin tambang yang dianggap tidak aktif atau berada di kawasan yang dilindungi. Reaksi terhadap langkah ini bervariasi, antara dukungan dan tantangan hukum yang muncul sebagai respon.
Dari jumlah tersebut, sekitar 585 izin dikembalikan setelah proses verifikasi yang dipertanyakan transparansinya. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang legitimasi dari prosedur pencabutan izin.
Ketidakpastian hukum muncul ketika membahas hak perusahaan tambang atas kompensasi setelah pencabutan izin. Sementara undang-undang nasional membatasi hak atas kompensasi, investor asing tetap memiliki opsi untuk menggugat pemerintah melalui mekanisme arbitrase internasional.
Menuju Tata Kelola yang Lebih Transparan dan Adil
Pentingnya audit nasional terhadap seluruh izin usaha tambang tidak dapat diabaikan. Audit harus dilakukan secara transparan dan melibatkan berbagai pihak, termasuk kementerian teknis dan pemerintah daerah untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi.
Prosedur pencabutan izin yang lebih tegas dan adil sangat dibutuhkan untuk menghindari ketidakpastian hukum. Melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan mendorong kepercayaan dan legitimasi kebijakan.
Ke depan, penetapan zona tambang harus mempertimbangkan ekosistem dan hak masyarakat. Keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan menjadi kunci keberhasilan dalam menciptakan kebijakan yang berkelanjutan.
Perlunya Pendekatan Kolaboratif dan Terintegrasi
Negara harus memperkuat skema restorasi untuk daerah pascatambang dan mengelola dananya secara akuntabel. Hal ini penting untuk membangun alternatif ekonomi berbasis sumber daya lokal yang menjanjikan bagi masyarakat di kawasan tersebut.
Mekanisme koordinasi antarkementerian juga perlu diperkuat agar kebijakan dapat diimplementasikan secara holistik. Forum lintas sektor yang diadakan secara rutin dapat membantu mengevaluasi izin dan menjadi wadah bagi mediasi atas konflik yang muncul.
Keselarasan kebijakan akan mencegah pemborosan sumber daya dan memastikan perlindungan terhadap ekosistem yang semakin terancam oleh aktivitas pertambangan.
Pengalaman di Raja Ampat menunjukkan bahwa perlindungan terhadap sumber daya alam memerlukan kebijakan yang konsisten dan pemahaman mendalam tentang dampak sosial ekonomi. Keberanian politik serta empati kepada masyarakat lokal sangat dibutuhkan dalam mewujudkan tata kelola yang adil dan berkelanjutan.
Tanpa adanya pendekatan yang holistik, kebijakan pencabutan izin hanya akan menjadi solusi sementara yang tidak menyelesaikan masalah mendasar dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia.