www.rincilokal.id – Saat dunia terguncang oleh peningkatan konflik yang berkepanjangan, dari Ukraina hingga Gaza, kini perhatian beralih ke ketegangan antara Iran dan Israel. Dua negara yang saling berseberangan ini berpotensi menciptakan dampak global, namun ada satu aktor yang tampak tenang di tengah gejolak ini.
Negara tersebut adalah Korea Utara, yang selama ini dikenal sebagai entitas tertutup dan berpunya fanatisme tinggi. Dalam konteks krisis ini, mereka menunjukkan strategi bertahan yang tampaknya lebih rasional dibandingkan dengan banyak negara lain yang terjebak dalam ketakutan dan kepanikan.
Korea Utara tidak percaya pada sistem internasional yang dianggapnya tidak adil. Keyakinan ini mendorong mereka untuk memilih jalur mandiri, mengandalkan kekuatan diri sendiri tanpa bergantung pada aliansi eksternal atau pasar global.
Mereka bijak dalam memahami bahwa untuk bertahan hidup, satu-satunya jaminan adalah yang dibangun sendiri. Oleh karena itu, Korea Utara mengembangkan filosofi isolasionis yang menekankan ketahanan dan autarki dalam kebijakan domestiknya.
Ketika Israel dan Iran terlibat dalam konflik yang semakin meluas, Seoul tetap fokus pada strategi yang sudah mereka bangun. Dengan impornya yang dominan berasal dari China, Korea Utara hanya mengandalkan sekitar 20.000 barel minyak per hari, menjauhkan diri dari ketergantungan terhadap pasar energi global.
Ketrampilan Bertahan Hidup dalam Lingkungan Krisis Global
Korea Utara memproduksi sendiri sekitar 85 persen kebutuhan makanannya. Walaupun negara ini terjerat dalam sanksi internasional, mereka mengandalkan diri dan tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga pangan global.
Perekonomian luar negerinya, meskipun sangat terbatas, tidak menghambat kemampuan mereka untuk bertahan. Pada tahun 2016, perdagangan luar negeri mereka mencapai 7 miliar dolar AS, tetapi menurun drastis menjadi 1,6 miliar dolar AS pada tahun 2022.
Kondisi ini menciptakan gambaran bahwa, meski mereka miskin, Korea Utara tetap berdiri teguh tanpa harus menjadi rentan terhadap gejolak ekonomi global. Mereka memilih untuk bertahan dengan memanfaatkan segala potensi domestik yang ada.
Dalam menghadapi tantangan dunia maya, Korea Utara telah memperlihatkan keahlian yang cukup canggih. Meskipun terkhusus dalam kegiatan siber yang ilegal, mereka mencatat pencurian digital bernilai 3 miliar dolar AS sejak 2017, yang semakin menguatkan posisi mereka dalam pengembangan sistem pertahanan.
Dana yang diperoleh dari aktivitas ini tidak digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, melainkan untuk memperkuat arsenal senjata nuklir dan program pertahanan mereka. Perkiraan menunjukkan bahwa Korea Utara kini memiliki antara 40 hingga 50 hulu ledak nuklir, yang mereka anggap sebagai polis asuransi terhadap ancaman dari luar.
Logika Mandiri dalam Masalah Global
Korea Utara memilih untuk tetap eksis tanpa perlu memperluas pengaruh atau terjun dalam segala konflik yang terjadi. Dalam saat-saat gawat, negara ini fokus pada keberlangsungan hidupnya sendiri.
Rezim Kim Jong Un tidak mencari pengakuan internasional, apalagi mendorong investasi asing. Mereka memainkan kartu “kami akan bertahan,” yang berfungsi sebagai pernyataan kekuatan dalam menghadapi setiap krisis yang datang.
Berbeda dengan banyak negara yang terperangkap dalam ambisi ekspansi, Korea Utara memungkinkan dirinya untuk tidak terlibat dalam kompleksitas politik global. Ini menunjukkan bahwa mereka mengikuti pendekatan pragmatis yang menolak adu mulut di forum-forum internasional.
Dalam konteks dunia yang bergejolak, Korea Utara tampak lebih stabil dibandingkan banyak negara lain yang terjebak dalam konflik. Dengan paradigma yang berbeda, mereka menunjukkan bahwa ketahanan bisa dibangun melalui kemandirian dan kewaspadaan.
Namun, terlepas dari pendekatan ini, dunia luar masih memiliki pandangan skeptis terhadap Korea Utara. Ini menciptakan paradoks, di mana di tengah ketidakpastian, mereka justru menjelma menjadi entitas yang lebih dapat diandalkan dalam mempertahankan prinsip-prinsip dasar kemandirian.
Mengapa Paranoia Bisa Menjadi Rasional?
Pandangan kemandirian hingga saat ini telah menjadi bagian integral dari keberadaan Korea Utara. Dalam situasi yang kerap tidak terduga, ekstremisme dan trauma sejarah mereka menciptakan ketahanan yang sulit untuk dipahami oleh negara lain.
Pandangan bisa jadi berbeda, namun hal ini menunjukkan bahwa rasionalitas dan insting bertahan hidup sering kali datang dari pengalaman yang menyakitkan. Korea Utara memberikan contoh bahwa tindakan defensif yang mereka ambil bukan sekedar tanpa alasan.
Mereka meyakini bahwa satu-satunya cara untuk merasa aman adalah dengan mengandalkan kekuatan yang dimiliki secara mandiri. Itulah yang menjadi fundamentalis dalam pengambilan keputusan mereka dalam berhadapan dengan dunia.
Menariknya, di antara semua kekacauan yang terjadi, logika berpikir ala Korea Utara dapat terlihat tidak gila sama sekali. Justru, dalam konteks ini, mereka bisa menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya ketahanan dan kemandirian di dalam menghadapi ancaman global.
Di tengah risiko dan ketidakpastian ini, keberanian untuk tidak terjerat dalam dinamika yang tidak perlu membuat Korea Utara tetap relevan. Dengan cara ini, mereka menunjukkan kepada dunia bahwa meskipun terpinggirkan, ketahanan dapat dijaga dengan prinsip mandiri.