www.rincilokal.id – Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), khususnya di Pasal 66, telah menciptakan tantangan baru dalam pengelolaan kepegawaian di Indonesia. Pasal ini mewajibkan agar seluruh pegawai non-ASN mendapatkan kepastian statusnya paling lambat Desember 2024, dengan opsi utama adalah dialihstatuskan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Walaupun tujuan dari regulasi ini adalah untuk memberikan kepastian hukum dan penghargaan bagi tenaga honorer yang sudah lama berdedikasi, implementasinya justru menghadirkan banyak kendala di tingkat daerah. Terutama dari sudut pandang fiskal dan penerapan batasan belanja pegawai yang telah diatur dalam peraturan lainnya.
Salah satu isu krusial yang muncul adalah ketidaksesuaian antara ketentuan dalam UU ASN dengan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Dalam UU HKPD, pemerintah daerah diwajibkan untuk menjaga porsi belanja pegawai tidak lebih dari 30% dari total anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Sementara itu, dalam kerangka pengangkatan honorer menjadi PPPK yang diatur dalam UU ASN, sejumlah daerah gagal memenuhi target porsi belanja pegawai di angka 30%. Instead of reducing the percentage, many areas experience a significant increase in the percentage, especially those with minimal Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Tantangan Fiskal bagi Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan UU ASN
Dilema struktural pun muncul di sini. Di satu sisi, daerah harus mematuhi perintah UU ASN untuk menyelesaikan status seluruh pegawai non-ASN. Di sisi lain, pemerintah daerah tetap terikat dengan peraturan mengenai batas maksimal alokasi anggaran per jenis belanja dalam APBD.
Dalam rangka mengatasi tekanan fiskal, sejumlah kebijakan diambil oleh pemerintah daerah dalam menentukan status kepegawaian tenaga honorer. Salah satu langkah yang diambil adalah menghentikan rekrutmen pegawai baru dengan status non-ASN, sesuai dengan Pasal 65 UU ASN yang melarang pengangkatan pegawai non-ASN dan mengancam sanksi untuk pelanggaran.
Bagi pemerintah daerah (pemda) yang memiliki kapasitas fiskal baik, konversi status tidak menjadi masalah besar. Namun, jumlah pemda yang mampu dalam kategori ini cukup terbatas. Sebaliknya, mayoritas pemda berada dalam kategori menengah sampai dengan terbatas secara fiskal.
Pada pemda dengan kemampuan fiskal menengah dan rendah, pelaksanaan alih status berhadapan dengan sejumlah masalah. Meski pemerintah pusat telah memberikan kuota pengangkatan, tidak semua kuota yang disediakan dapat dieksekusi dengan baik di lapangan. Hal inilah yang menciptakan gejolak antara pegawai honorer dengan pemda, serta konflik dengan pegawai berstatus PNS.
Gejolak antara Honorer dan Pegawai Berstatus PNS
Pegawai honorer mengacu pada kuota yang disediakan oleh pemerintah pusat dan menuntut untuk segera diangkat sesuai dengan kuota tersebut. Konflik semacam ini memaksa pemda untuk melakukan perhitungan ulang berdasarkan kemampuan fiskalnya. Selain itu, potensi konflik dengan pegawai berstatus PNS akan terlihat saat ada pemberian Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP).
Ketika porsi belanja pegawai telah ditetapkan, namun jumlah pegawai bertambah akibat pengangkatan honorer, maka secara matematis nilai TPP menjadi lebih kecil. Beberapa daerah terpaksa melakukan penyesuaian jumlah TPP karena adanya tambahan pegawai baru yang berasal dari pengangkatan honorer.
Meskipun ada pemda yang mampu merekrut semua honorer menjadi PPPK, terdapat pula pemda yang masih kesulitan untuk melakukan perubahan status honorer meski sudah mencoba berbagai skenario. Sisa honorer yang tidak terangkat ini menjadi masalah yang tak kunjung usai.
Pemerintah pusat pun menyikapi masalah ini dengan mengusulkan PPPK paruh waktu, tetapi solusi ini tidak menyentuh akar permasalahan sesuai amanat UU ASN. Terutama terkait dengan standar penghasilan bagi PPPK berstatus paruh waktu.
Alternatif dalam Pengelolaan Status PPPK dan Tantangan Kontrak
Pemda juga mencoba alternatif lain dengan membatasi durasi kontrak para PPPK. Bisa jadi mereka dikontrak untuk jangka satu tahun anggaran, meskipun umumnya PPPK dikontrak selama lima tahun yang bisa diperpanjang. Kontrak satu tahun sebenarnya tidak berbeda jauh dari sistem yang diterapkan pada pegawai honorer di masa lalu.
Perbedaan utama hanya terdapat pada standar penghasilan yang ditawarkan, yang lebih baik dibanding sebelumnya. Namun, kontrak jangka pendek ini berpotensi mengurangi motivasi para PPPK untuk memberikan kinerja yang optimal.
Ketika langkah-langkah yang diambil tidak mampu menahan laju peningkatan belanja pegawai, kebijakan yang tidak populer pun terpaksa diambil. Beberapa pemda memilih untuk meningkatkan PAD secara agresif, terutama melalui kenaikan pajak dan retribusi. Langkah ini, sayangnya, berdampak langsung pada daya beli masyarakat dan iklim usaha daerah.
Fenomena pengalihan status tenaga honorer bukanlah hal baru. Di era pemerintahan sebelumnya, pernah dilakukan program besar-besaran untuk mengangkat tenaga honorer menjadi PNS. Apa yang terjadi setelahnya menunjukkan bahwa jumlah honorer tidak berkurang, bahkan semakin bertambah.
Revisi UU ASN sebagai Solusi Strategis untuk Mengatasi Krisis ini
Beberapa individu yang seharusnya diangkat justru tidak mendapat kesempatan. Posisi mereka dilewati oleh honorer “siluman” yang tidak memiliki pengalaman di instansi. Realita serupa nampaknya terulang kembali. Jika kebijakan ini terus berjalan, akan muncul preseden yang mengulangi masalah sama di masa mendatang.
Melihat kompleksitas dampak dari kebijakan ini, revisi UU ASN menjadi krusial. Sebagian besar pembahasan harus memfokuskan pada kemampuan fiskal, efisiensi birokrasi, dan prinsip keadilan dalam rekrutmen.
Beberapa pengaturan yang perlu dipertimbangkan dalam revisi dapat meliputi:
- Menghapus kewajiban alih status tenaga honorer menjadi ASN secara otomatis.
- Rekrutmen ASN harus melalui proses seleksi terbuka dan kompetitif.
- Fokus pada penetapan standar penghasilan layak bagi seluruh pegawai pemerintah.
- Pemerintah daerah sebaiknya memiliki kewenangan penuh dalam pengangkatan PPPK.
- Pengendalian rekrutmen tenaga honorer pasca-pengangkatan harus diatur secara tegas.
Revisi UU ASN bukan semata soal kepegawaian, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan antara perlindungan pegawai dan keberlanjutan fiskal. Dalam sistem desentralisasi Indonesia, daerah harus diberi keleluasaan untuk mengelola sumber daya manusia sesuai kemampuan fiskal yang ada.
Tanpa adanya revisi UU ASN, kebijakan pengangkatan honorer akan seperti “bom waktu” fiskal bagi daerah. Kenaikan belanja pegawai yang tak terukur akan mempengaruhi alokasi anggaran pembangunan dan pelayanan publik. Akhirnya, masyarakatlah yang menjadi korban dari ketidakseimbangan ini.
Walaupun benar bahwa APBD digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, penting untuk memikirkan penciptaan lapangan kerja dalam arti luas, bukan hanya dipersempit pada beban anggaran untuk mendanai pegawai.