www.rincilokal.id – Ketika harga rumah terus melambung tinggi dan subsidi dari pemerintah terasa semakin tak mencukupi, banyak di antara kita mulai bertanya: di mana sebenarnya alokasi uang negara selama ini? Semua ini mengarah kepada satu dokumen penting yang mengatur arah kebijakan fiskal, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN bukan hanya sekadar daftar angka yang mencerminkan pendapatan dan belanja pemerintah, tetapi juga gambaran dari pilihan politik dan prioritas pembangunan yang ditujukan untuk rakyat.
Pentingnya pembahasan mengenai APBN, termasuk defisit dan strategi pembiayaannya, tidak hanya menjadi perhatian para ekonom dan politisi di Senayan, tetapi juga kita semua sebagai masyarakat. Sebab, aspek-defisit ini akan menentukan kemampuan pemerintah dalam menyediakan layanan publik, menanggulangi kemiskinan, dan mempersiapkan masa depan bangsa yang lebih baik.
Saya secara langsung terlibat dalam diskusi Panitia Kerja Defisit Komisi XI DPR RI bersama pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Pengalaman tersebut memungkinkan saya untuk menyaksikan secara dekat dinamika perdebatan tentang data, skema pembiayaan, dan merumuskan rekomendasi yang seimbang antara menjaga kesinambungan fiskal dan memenuhi tanggung jawab negara kepada masyarakat.
Pada rapat tersebut, pemerintah mengusulkan proyeksi defisit APBN di kisaran 2,48 hingga 2,53 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang menunjukkan penurunan dibandingkan outlook tahun 2025 yang sebesar 2,78 persen. Meskipun terlihat aman karena masih di bawah ambang batas 3 persen yang ditetapkan oleh undang-undang, namun realitanya ruang fiskal kita semakin sempit akibat beban bunga utang yang terus membesar.
Menilai Keamanan Fiskal dalam Konteks Defisit APBN
Defisit APBN bukan sesuatu yang patut ditakuti. Banyak negara bahkan menggunakan defisit sebagai strategi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama di masa krisis ketika pendapatan negara tidak cukup untuk membiayai pembangunan. Namun, terkena dampak negatif akibat defisit yang berlebihan dapat menggerus kredibilitas fiskal negara.
Penting untuk dicatat bahwa penurunan defisit tidaklah cukup; yang lebih esensial adalah bagaimana anggaran tersebut dikelola. Data mengindikasikan bahwa pembiayaan utang belum dimaksimalkan untuk belanja yang produktif. Dalam rentang waktu 2016-2024, pembayaran bunga utang menyerap lebih dari 20 persen dari anggaran belanja negara, jumlah yang setara dengan minimal 20 persen alokasi APBN untuk sektor pendidikan.
Dengan kata lain, alokasi anggaran untuk membayar bunga utang dan untuk pendidikan adalah sama besar, yang menunjukkan adanya ironi dalam pengelolaan fiskal. Sementara itu, belanja modal yang seharusnya merangsang pertumbuhan jangka panjang justru berada di angka 12-18 persen, menandakan bahwa utang yang didapat tidak sepenuhnya digunakan untuk investasi produktif.
Impikasi Utang bagi Keberlanjutan Fiskal Negara
Walaupun rasio utang terhadap PDB Indonesia berada di angka yang dianggap aman, yaitu 39,81 persen, namun total utang yang mencapai Rp9.136 triliun menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Kita tidak dapat melihat angka rasio utang semata, karena telah terjadi stagnasi dalam kapasitas penerimaan negara, yang terhambat oleh banyaknya ekonomi informal yang tidak terdaftar untuk dikenakan pajak.
Dalam konteks ini, PDB yang terus meningkat setiap tahunnya tidak disertai dengan peningkatan kemampuan pemerintah untuk memenuhi kewajibannya. Jika kita mengukur menggunakan rasio pengeluaran untuk utang, maka situasinya menjadi lebih serius, karena saat ini mendekati angka 300 persen. Artinya, untuk membayar utang, negara memerlukan pendapatan tiga kali lipat dari yang seharusnya diterima setiap tahunnya.
Untuk hanya membayar bunga utang, negara bahkan harus mengeluarkan hampir 16 persen dari total pendapatannya per tahun. Ketergantungan terhadap utang semakin menjadi tantangan, terutama ketika mayoritas utang berasal dari penerbitan surat berharga dalam denominasi rupiah, meski ada pula risiko dari utang dalam bentuk valas yang berkontribusi pada ketidakstabilan akibat fluktuasi nilai tukar.
Mengelola Utang secara Strategis untuk Tujuan Pembangunan
Utang, jika dikelola dengan benar, dapat menjadi instrumen pembangunan yang efektif. Namun, untuk mencapai itu, penggunaan utang harus diarahkan pada belanja yang memberikan dampak signifikan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk lebih transparan mengenai rencana pengelolaan defisit dan utang, termasuk bagaimana setiap rupiah digunakan dan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pada jangka pendek, kebijakan defisit RAPBN 2026 yang diusulkan tetap bersifat ekspansif namun terukur. Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan di antara pelaksanaan janji politik dan keberlanjutan fiskal. Namun, lebih dari sekadar angka, yang menjadi kunci adalah bagaimana efektifnya alokasi uang negara untuk menghasilkan dampak positif bagi masyarakat.
Kebijakan pengelolaan defisit dan utang harus didasarkan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi. Akhirnya, defisit bukan hanya masalah finansial, tetapi mencerminkan pilihan pembangunan yang lebih besar: siapa yang diutamakan, siapa yang diabaikan, dan bagaimana kita membangun masa depan bangsa yang lebih baik.