www.rincilokal.id – Sistem pangan di Indonesia mendesak untuk diperbaiki. Peningkatan angka prevalensi diabetes melitus menunjukkan bahwa masalah gizi sangat serius dan perlu perhatian lebih.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat prevalensi diabetes melitus penduduk berusia di atas 15 tahun meningkat dari 10,9 persen pada 2018 menjadi 11,7 persen pada 2023. Di sisi lain, angka stunting pada balita di kelompok miskin perkotaan juga sangat tinggi, mencapai 23,4 persen.
Data tersebut menunjukkan adanya krisis gizi yang memerlukan penanganan mendesak. Masalah gizi seperti stunting, kekurangan gizi mikro, dan obesitas diakui sebagai prioritas dalam RPJMN 2025-2029.
Angka diabetes tipe dua yang lebih tinggi di perkotaan, yakni 52,2 persen, dibandingkan dengan 45 persen di pedesaan, mencerminkan pola konsumsi yang buruk. Di pedesaan, masalah gizi sering kali disebabkan oleh keterbatasan akses dan ekonomi yang membuat banyak masyarakat, terutama perempuan, menghadapi anemia.
Akibat dari isu-isu tersebut, kejadian stunting masih tinggi di Indonesia. Cuaca ekstrem dan perubahan iklim juga memperburuk akses terhadap makanan bergizi, baik di perkotaan maupun pedesaan.
Penyebab Keberagaman Masalah Gizi yang Dialami Masyarakat
Persoalan gizi yang dihadapi masyarakat tidak terlepas dari kegagalan dalam menyediakan pangan sehat. Data BPS pada 2024 menunjukkan konsumsi mi instan di Indonesia mencapai 79,3 persen dari total konsumsi bahan makanan dalam seminggu.
Indonesia kini menempati peringkat kedua di dunia dalam hal konsumsi mi instan. Konsumsi tinggi ini tentunya berkontribusi terhadap peningkatan risiko penyakit tidak menular.
Pertumbuhan populasi yang pesat di kota-kota besar memperumit upaya memastikan ketersediaan pangan. Prediksi PBB pada 2012 mengungkapkan bahwa produksi pangan harus ditingkatkan hingga 60 persen untuk memenuhi kebutuhan 9,3 miliar orang pada tahun 2050.
Urbanisasi cepat sering kali dibarengi dengan distribusi pangan yang tidak memadai. Pembangunan sistem pangan kota perlu sejalan dengan rencana tata ruang, infrastruktur, dan potensi sumber daya lokal.
Untuk itu, investasi pada simpul transportasi dan pusat logistik yang efisien sangat penting. Fokus pada rantai pasok dingin dan fasilitas pengolahan makanan di tingkat lokal juga menjadi langkah strategis untuk memudahkan akses terhadap makanan bergizi.
Strategi untuk Memperbaiki Masalah Gizi yang Ada
Integrasi kebijakan antara desa dan kota menjadi sangat penting dalam mengatasi masalah ini. Perdesaan harus didukung untuk mengoptimalkan potensi mereka sebagai pusat produksi pangan berkelanjutan.
Di sisi lain, kota perlu melakukan transformasi dalam pola konsumsi dan distribusi pangan agar lebih efisien. Karakteristik masalah gizi di keduanya cukup berbeda; anak di perkotaan terindikasi obesitas tinggi, sementara di perdesaan lebih banyak yang menderita malnutrisi.
Dokumen White Paper CISDI 2024 menyoroti bahwa anak-anak dan remaja di Indonesia menghadapi isu gizi akibat keterbatasan akses terhadap makanan sehat, pendidikan, dan sanitasi. Meskipun akses makanan di area perkotaan lebih mudah, pangan ultra-proses mendominasi, meningkatkan risiko obesitas.
Di perdesaan, tantangan lebih bersifat keterbatasan akses ke makanan bergizi. Untuk mengatasi permasalahan ini, berbagai program pemerintah perlu dioptimalkan dalam penyediaan pangan.
Kebijakan terkait penyediaan pangan seperti Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan, serta Sistem Peringatan Dini Kerawanan Pangan juga harus lebih difungsikan. Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) di Posyandu dan Puskesmas untuk balita dan ibu hamil juga merupakan langkah positif.
Pentingnya Pengawasan dan Penyesuaian dalam Penyediaan Pangan
Namun, program baru seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) masih menghadapi beberapa tantangan. Pelaksanaan MBG saat ini diwarnai berbagai masalah terkait tata kelola dan penggunaan produk pangan ultra-olahan.
Penggunaan bahan pangan tinggi gula, garam, dan lemak dalam menu MBG jelas tidak sesuai pedoman standar gizi. Hal ini berpotensi memicu berat badan berlebih dan obesitas, yang bertentangan dengan tujuan dari program tersebut.
Pemerintah diperlukan untuk memastikan bahwa menu MBG memenuhi standar gizi seimbang. Penyesuaian program dengan kebutuhan pangan lokal juga harus menjadi fokus utama untuk meningkatkan efektivitas program tersebut.
Penting untuk membenahi sistem pangan melalui pendekatan lintas sektor dan berbasis wilayah. Pengembangan rantai pasok dan logistik desa-kota harus menjadi prioritas dalam upaya perbaikan gizi masyarakat.
Kondisi ketersediaan lahan dan regenerasi petani menjadi tantangan serius. Meskipun demikian, pemecahan masalah ini harus dianggap sebagai prioritas untuk meningkatkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.