www.rincilokal.id – Sejarah perberasan di Indonesia patut dicermati, terutama saat berbicara tentang produk inovatif seperti beras “Tekad”. Ketika dunia mengalami kekeringan parah pada tahun 1968, Indonesia yang sangat bergantung pada impor beras terancam menghadapi krisis pangan yang serius. Dalam situasi darurat ini, langkah-langkah kreatif diambil untuk memastikan pasokan pangan tetap tersedia bagi masyarakat.
Pada tahun yang sama, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto menghadapi tantangan besar akibat penurunan stok beras global. Dengan ketergantungan yang tinggi terhadap impor, urgensi untuk menciptakan solusi lokal menjadi semakin mendesak. Pengembangan beras “Tekad” diharapkan dapat menjawab kebutuhan mendesak ini.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh I Ketut Nehen, volume impor beras Indonesia telah meningkat secara signifikan sejak tahun 1965. Dari 140 ribu ton pada tahun pertama, angka ini melonjak menjadi 350 ribu ton hanya dalam rentang waktu dua tahun, menunjukkan betapa rentannya posisi Indonesia dalam hal ketahanan pangan.
Ketidakmampuan untuk mengakses beras impor semakin membuat pemerintah gelisah. Dalam konteks inilah, beras “Tekad” diperkenalkan sebagai solusi inovatif. Beras ini bukanlah beras tradisional, melainkan hasil olahan dari campuran ubi jalar, kacang, dan jagung.
Inovasi Beras “Tekad” sebagai Solusi Pangan
Beras “Tekad” merupakan hasil eksperimen yang mencoba menciptakan alternatif pemasok pangan. Melalui proses pencampuran dan penggilingan, bahan-bahan tersebut dibentuk menyerupai butiran beras. Meskipun namanya menyerupai beras, produk ini memiliki komposisi yang berbeda dan ditujukan untuk dijadikan pengganti nasi.
Menariknya, meski beras “Tekad” diusung sebagai inisiatif pemerintah, ide awalnya ternyata datang dari sektor swasta. Mantrust, Inc. yang didirikan di tahun yang sama, berhasil menjalin kerjasama dengan pemerintah untuk memproduksi beras alternatif ini. Dengan dukungan investasi signifikan, pabrik-pabrik dapat dibangun dan mulai beroperasi untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Tidak semua kalangan mendukung inisiatif ini. Emil Salim, seorang ekonom ternama, mengungkapkan skeptisisme terhadap konsep beras “Tekad”. Dia berpendapat bahwa produk semacam ini tidak pernah berhasil di negara lain dan sering kali hanya menguntungkan segelintir pihak. Meskipun demikian, Soeharto tetap melanjutkan proyek ini, menegaskan pentingnya menciptakan solusi yang dapat diandalkan.
Realitas Pasar dan Tantangan Konsumsi
Pabrik beras “Tekad” akhirnya berdiri di beberapa lokasi strategis seperti Bandung dan Yogyakarta. Pada tahun yang sama, pabrik di Yogyakarta mampu memproduksi hingga 1.200 kg per hari, menunjukkan potensi untuk memenuhi ekspektasi pemerintah dalam hal penyediaan pangan. Meski diharapkan menjadi solusi jangka panjang, kenyataannya berbanding terbalik.
Pada saat pemerintah memperkenalkan beras ini sebagai pengganti utama nasi, sejumlah tantangan muncul. Masyarakat mulai merasa bahwa harga beras “Tekad” terlalu tinggi tanpa adanya subsidi. Ketidakmampuan pemerintah untuk menanggung biaya subsidi dalam jangka panjang menjadi faktor yang memengaruhi daya tarik produk ini.
Ketidakpuasan masyarakat pun meningkat ketika beras “Tekad” lebih banyak dipandang sebagai bahan baku untuk membuat makanan ringan, ketimbang sebagai pengganti nasi. Penggunaan yang tidak sesuai dengan tujuan awal semakin menurunkan popularitas produk ini, membuatnya perlahan-lahan menghilang dari pasar. Kesalahan strategi ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pangan di masa depan.
Pembelajaran dari Sejarah Ketahanan Pangan
Ketika melihat kembali sejarah beras “Tekad”, terdapat beberapa aspek penting terkait strategi ketahanan pangan yang bisa dijadikan bahan refleksi. Pertama-tama, ketergantungan terhadap impor beras menunjukkan kelemahan dalam sistem pangan nasional, yang seharusnya dapat diatasi melalui pengembangan produk lokal yang lebih berkelanjutan.
Kedua, peran inovasi dari sektor swasta dalam menyelesaikan masalah ketahanan pangan sangat krusial. Kolaborasi antara pemerintah dan perusahaan swasta dapat menciptakan solusi yang lebih efektif dengan memfokuskan pada kebutuhan masyarakat. Namun, penting juga untuk melakukan riset dan pengujian sebelum menerapkan strategi secara luas.
Akhirnya, pengertian dan penerimaan masyarakat terhadap produk baru menjadi kunci dalam keberhasilan suatu inovasi di sektor pangan. Tanpa dukungan dan adaptasi dari konsumen, produk inovatif seperti beras “Tekad” akan sulit untuk diterima dan bertahan di pasaran.