www.rincilokal.id – Deru getar kereta api membawa penulis menjauh dari keramaian Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta untuk sejenak menjauh dari kepenatan hidup di Ibu Kota. Dalam setiap gerbong kereta, terlihat kegelisahan para penumpang, mencerminkan kehidupan yang penuh tantangan dan pengorbanan untuk mencari nafkah.
Kereta Rel Listrik (KRL) yang melaju dengan rangkaian delapan hingga dua belas gerbong ini, tanpa henti mengangkut penumpang yang beragam. Setiap penumpang memiliki cerita dan keluhan tersendiri, berhubungan dengan pengorbanan yang harus mereka lakukan demi menyambung hidup di kota metropolis ini.
Melalui perjalanan ini, penulis teringat akan rutinitas sebagai seorang komuter, menempuh jarak kurang lebih 80 kilometer dari Kota Serang ke DKI Jakarta. Setiap harinya, waktu yang dihabiskan di jalan bisa mencapai dua jam, semua itu demi mendapatkan sumber penghasilan yang terkadang terasa tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan.
Membandingkan diri dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), seperti yang disampaikan oleh Nafa Urbach, yang mengeluhkan waktu tempuh satu setengah jam dari Bintaro ke Senayan, menjadi perbandingan yang membuat penulis tertegun. Anggota dewan itu bahkan menyatakan perlunya menyewa tempat tinggal di Jakarta dengan anggaran mencapai Rp50 juta per bulan, sebuah angka yang sangat jauh dari realita kebanyakan rakyat.
Kesenjangan Ekonomi antara Anggota DPR dan Rakyat
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana anggota DPR, yang terjun dari rakyat, bisa hidup dalam kemewahan. Ketika masyarakat yang sama berjuang mendapatkan cukup uang untuk bertahan hidup setiap bulannya, mereka yang seharusnya mewakili suara dan harapan tersebut seakan terputus dari kenyataan.
Saat kita membandingkan pengeluaran anggota DPR untuk akomodasi dengan penghasilan rata-rata masyarakat, sangat mencolok. Penginapan yang mereka sewa seharga Rp3 juta per hari nyatanya setara dengan hampir satu bulan gaji pekerja, yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) rata-rata mencapai Rp3,1 juta.
Hal ini menunjukkan betapa jauh jarak antara kehidupan para legislator dan rakyat yang mereka wakili. Namun, ironi tersebut semakin dalam ketika menyadari bahwa pajak yang dibayarkan oleh jutaan pekerja digunakan untuk membiayai tunjangan dan akomodasi di DKI Jakarta.
Jika kita lihat lebih dekat, gaji anggota DPR dan tunjangan hunian yang fantastis dalam situasi sulit saat ini seharusnya menjadi perhatian. Terlebih lagi dengan adanya backlog perumahan yang sudah mencapai 9,9 juta rumah, pun harga rumah yang terus meningkat jauh di atas laju pertumbuhan pendapatan masyarakat.
Selama Ini, Kebutuhan Dasar Terabaikan
Saat diskusi mengenai kebutuhan perumahan ini muncul, penting untuk menyadari bahwa masih ada 24 persen dari masyarakat yang belum memiliki hunian. Mereka beralasan tidak memiliki dana yang cukup untuk membangun atau membeli rumah. Hal ini memprihatinkan, terutama ketika mereka yang terpaksa menyuplai pajak untuk memenuhi kebutuhan dewan.
Masyarakat pun diminta untuk berpartisipasi dalam program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), sementara hasil dari kontribusi tersebut malah di arahkan untuk memberikan biaya tunjangan kepada anggota DPR. Mengingat anggaran perumahan bagi anggota dewan sudah ada melalui program hunian tertentu, ini menciptakan ketidakadilan yang semakin dalam.
Lebih jauh lagi, dengan gaji bulanan anggota DPR yang bisa mencapai Rp100 juta, harusnya ada penghematan yang dilakukan dalam hal anggaran. Namun kenyataan menunjukkan bahwa idealisme tersebut masih jauh dari jangkauan orang-orang terpilih yang seharusnya bisa memberikan contoh dan berempati terhadap keadaan masyarakat.
Begitu pula dengan pola pikir yang harusnya mendorong DPR untuk melihat kebutuhan fundamental rakyat. Alih-alih melakukan penghematan di pos anggaran yang tidak esencial, mereka justru mendapatkan tunjangan untuk kebutuhan akomodasi, bisa dibilang tindakan tersebut terlalu egois mengingat kondisi masyarakat yang berjuang mendapatkan hunian.
Berani Mengkritik, Berani Berubah
Sudah saatnya ada perubahan pola pikir dari anggota DPR untuk lebih peka dan empatik terhadap kondisi sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat. Dengan latar belakang pendidikan dan posisi sebagai wakil rakyat, seharusnya mereka mampu menjamin transparansi anggaran agar berfungsi sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Rakyat perlu berani menyuarakan suara mereka agar wakilnya di Senayan ini mengerti akan kesulitan yang dihadapi. Dengan dukungan dari banyak pihak, kita bisa mendorong adanya perubahan yang real dan tidak hanya dalam wacana. Economic literacy atau pemahaman ekonomi di kalangan pemilih perlu terus ditingkatkan tahun demi tahun agar masyarakat semakin sadar akan hak dan fungsi mereka dalam sistem pemerintahan.
Lebih jauh, semangat kolektivitas dalam menghadapi tantangan ini seharusnya ditunjukkan dengan inisiatif masyarakat untuk bersuara. Kebangkitan kesadaran sosial di kalangan warga negara akan menjadi salah satu kekuatan untuk mendesak pergeseran kebijakan menuju ke arah yang lebih adil dan selaras dengan kebutuhan rakyat.
Melalui cara tersebut, semoga anggota DPR, seperti Nafa Urbach, bisa lebih memahami pentingnya keberanian untuk bangun lebih pagi, dan berangkat lebih awal, serta merasakan langsung dinamika kehidupan masyarakat. Melalui pengalaman nyata, harapannya mereka akan lebih bijak dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan anggaran untuk rakyat.