www.rincilokal.id – Thailand kini berada di tengah kekacauan yang cukup serius. Protes besar-besaran telah meletus, menuntut Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra untuk mengundurkan diri setelah bocornya percakapan rahasia dengan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, mengenai isu perbatasan yang dianggap melemahkan kekuatan militer negara tersebut.
Berita ini membawa ingatan kita kembali pada rentetan gejolak politik yang pernah melanda Thailand sebelumnya. Dalam sejarah panjang negara ini, ketidakstabilan politik bukanlah hal baru, dan semua ini menciptakan kerumitan di tengah masyarakat yang membutuhkan kepastian dan dukungan.
Salah satu contoh menarik adalah peristiwa yang terjadi 339 tahun lalu, yang diakibatkan oleh tindakan berani seorang pria asal Makassar. Pria tersebut dikenal dengan nama Daeng Mangalle, yang menjadi tokoh penting dalam sejarah Thailand di masa lalu.
Perjuangan Daeng Mangalle Di Thailand dan Konteks Sejarahnya
Daeng Mangalle adalah seorang bangsawan dari Kerajaan Gowa, yang berkuasa di wilayah Indonesia pada masa lalu. Dia meninggalkan tanah kelahirannya dan mencari suaka di Siam (Thailand) pada tahun 1686, setelah kecewa dengan kerjasama Kerajaan Gowa dengan VOC.
Sesampainya di Siam, dia disambut baik oleh Raja Ayutthaya, Phara Narai, yang memberinya jabatan penting sebagai bendahara kerajaan. Peran bendahara saat itu setara dengan posisi menteri keuangan dalam struktur pemerintahan modern.
Namun, keberhasilan Daeng Mangalle tidak bertahan lama, sebab dia dan beberapa orang Muslim serta Melayu dituduh berencana menggulingkan kekuasaan raja. Tuduhan tersebut tidak didasarkan pada bukti yang kuat, namun cukup untuk memicu konflik besar yang tak terduga.
Ketidakpuasan terhadap tuduhan ini menggugah semangat juangnya. Dengan dukungan pengikut setianya yang berasal dari Makassar, Daeng Mangalle bersiap untuk melawan dan berperang demi keadilan.
Pertempuran Besar antara Makassar dan Siam di Ayutthaya
Pertempuran pun pecah, dan jantung kekuasaan Siam mulai dilanda kerusuhan. Awalnya, Raja Phara Narai mencoba meredakan situasi dengan menawarkan pengampunan, tetapi Daeng Mangalle menolak tawaran itu karena merasa tidak bersalah.
Setelah penolakan tersebut, tentara yang dipimpin oleh perwira Prancis, Claude de Forbin, dikerahkan untuk mengepung komunitas Makassar di Ayuthia. Di sisi lain, prajurit Makassar bersumpah untuk bertahan meski hanya bersenjatakan keris.
Pertempuran yang terjadi sangat sengit dan berlarut-larut. Daeng Mangalle dan pasukannya berjuang sekuat tenaga, bahkan berhasil membunuh banyak tentara Siam. Sayangnya, meskipun mereka memperlihatkan keberanian yang luar biasa, bantuan militer dari Forbin yang terdiri atas tentara Portugis membuat keadaan semakin tidak menguntungkan.
Kekalahan dan Konsekuensi yang Menghancurkan
Forbin berusaha mendapatkan konsentrasi pasukan dan mengirim ribuan tentara untuk menumpas perlawanan Daeng Mangalle. Dalam pertempuran yang berujung pada kekalahan, tercatat bahwa banyak tentara Siam yang terbunuh, namun kerugian di pihak Makassar tidaklah sedikit.
Meskipun pasukannya tersisa hanya sedikit, Daeng Mangalle tidak mundur dari pertempuran. Namun, kekalahan menjadi tak terelakkan dan dia pun mengalami luka parah akibat serangan musuh. Akhirnya, dia jatuh sebagai syuhada yang berjuang untuk haknya.
Setelah pertempuran berakhir, nasib para pejuang Makassar sangat tragis. Mereka yang selamat mengalami perlakuan brutal oleh tentara Siam, diperintahkan untuk dibantai, sementara perempuan dan anak-anak diperlakukan sebagai budak.
Sejarah Daeng Mangalle menjadi pelajaran penting tentang keberanian dan pengorbanan. Kisahnya mengingatkan cita-cita akan keadilan meski harus melalui jalan yang penuh risiko dan penderitaan. Melalui dinamikanya, kekacauan dalam politik dan perjuangan manusia untuk hak asasi tampak saling terhubung.