www.rincilokal.id – Setelah pengumuman tarif timbal balik oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, ekonomi global memasuki fase yang sangat rawan. Meskipun beberapa pelonggaran tarif antara AS dan China terjadi, banyak negara mulai merasakan dampak yang lebih dalam, terutama perekonomian yang sangat bergantung pada ekspor dan sektor yang padat karya.
Di Indonesia, ancaman tarif resiprokal yang dapat mencapai 32 persen menggelayuti perekonomian. Melihat situasi ini, rupiah terus melemah dan menimbulkan pertanyaan: apakah Indonesia sedang menuju masa yang menakutkan akibat kebijakan tarif ini?
Saat mencermati laporan-laporan ekonomi, tampak jelas bahwa banyak kekhawatiran meliputi masyarakat. Sejak bulan Ramadan, ekonomi Indonesia telah menunjukkan penurunan yang signifikan, di mana biasanya aktivitas ekonomi justru meningkat saat hari raya. Keadaan ini semakin dikhawatirkan oleh penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang drastis.
Suasana Idulfitri tahun ini terimbas oleh banyaknya pemudik yang mengurungkan niat untuk pulang kampung, serta penurunan konsumsi masyarakat yang lebih rendah dari ekspektasi. Pada saat yang bersamaan, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor semakin menambah keluh kesah masyarakat, menjelang hari raya yang seharusnya menjadi momentun kebahagiaan.
Menghadapi Tantangan Ekonomi yang Kompleks
Di tengah situasi yang sulit ini, Bursa Efek Indonesia (BEI) beberapa kali menghentikan perdagangan untuk menjaga nilai IHSG agar tidak jatuh lebih dalam. Nilai tukar rupiah yang melewati Rp17.000 per dolar AS mengingatkan kita akan krisis moneter Asia pada tahun 1998.
Penurunan nilai ini dipacu oleh berbagai faktor, termasuk penerimaan pajak yang rendah dari proyeksi semula. Hal ini dapat mengarah kepada pelonggaran kebijakan moneter dan meningkatkan jumlah uang beredar, yang pada gilirannya berpotensi menimbulkan inflasi.
Begitu juga, pengeluaran pemerintah yang tidak terencana dapat menyebabkan kepercayaan investor menurun, yang berujung pada penurunan nilai tukar. Dalam konteks internasional, tarif baru yang diterapkan bisa menyebabkan penurunan permintaan terhadap rupiah.
Dengan situasi yang semakin memanas, diperlukan langkah-langkah tegas dari Bank Indonesia untuk mencegah pelemahan rupiah yang lebih lanjut. Salah satu langkah awal adalah intervensi di pasar non-deliverable forward luar negeri untuk menemukan keseimbangan yang lebih baik.
Pentingnya Kebijakan Ekonomi yang Sinergis
Pemulihan nilai rupiah memang dimungkinkan, namun bergantung pada kebijakan ekonomi domestik dan keadaan perdagangan internasional. Jika didukung oleh kebijakan yang proaktif, perubahan positif bisa terjadi dalam waktu singkat.
Namun, proses ini tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan intervensi dari bank sentral. Melainkan, penting untuk memastikan adanya keselarasan antara kebijakan fiskal dan moneter yang diambil pemerintah.
Kesejahteraan lebih dari 200 juta rakyat Indonesia kini terletak di tangan pembuat kebijakan. Bagaimana cara mereka membangun kerjasama dengan negara-negara di sekitarnya menjadi tantangan yang sangat besar untuk dihadapi.
Terlebih lagi, ketika negara-negara ASEAN melihat dampak dari kebijakan tarif AS, kerjasama antar negara menjadi sangat penting untuk menciptakan ketahanan ekonomi. Memperkuat hubungan bilateral di kawasan ini dapat menjadi langkah awal untuk meredam efek negatif.
Strategi Kerjasama dalam Menghadapi Dampak Tarif
Salah satu pepatah yang menjadi pegangan adalah “Tetangga dekat lebih baik daripada saudara jauh.” Dalam konteks ini, negara-negara ASEAN memerlukan kerjasama yang lebih kuat untuk menghadapi dampak dari tarif yang diberlakukan oleh AS.
Negara-negara seperti Vietnam dan Kamboja mengalami dampak signifikan dengan tarif mencapai 46 persen dan 49 persen, sementara Indonesia menghadapi 47 persen pada produk tekstil. Namun, situasi ini memberikan peluang bagi negara lain untuk berkumpul dan memperkuat koalisi.
Kebijakan tarif yang diberlakukan seharusnya menjadi pengingat bagi negara-negara ASEAN untuk memperkokoh ketahanan dari dalam, dengan melakukan kolaborasi yang lebih intensif. Memperkuat hubungan bilateral antara kedua negara, seperti Indonesia dan Singapura, dapat menjadi strategi yang efektif.
Inisiatif seperti pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus antara kedua negara bisa menarik investasi dan memperlancar perdagangan. Ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk memperkuat integrasi di seluruh kawasan.
Membangun Ketahanan Ekonomi di Tengah Persaingan Global
Perubahan dalam dinamika perdagangan global menuntut negara-negara ASEAN untuk melakukan adaptasi dan strategi yang inovatif. Persatuan di antara negara-negara ASEAN menjadi kunci ketahanan yang lebih besar dalam menghadapi tantangan baru.
Seiring dengan pertumbuhan yang pesat dan ketidakpastian yang ada, negara-negara ASEAN tetap harus saling mendukung. Selaras dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika,” keberagaman yang ada bisa menjadi kekuatan untuk bertahan dalam kondisi yang sulit.
Dalam konteks ini, setiap negara di ASEAN yang saling menopang dapat mewujudkan masa depan yang lebih baik, bahkan di tengah arus global yang mengancam. Dengan persatuan dan sinergi, tantangan berat ini dapat dihadapi bersama-sama.
Oleh karena itu, semua pihak perlu melihat ke depan dan bekerjasama dengan baik dalam membangun masa depan yang lebih menjanjikan dan stabil. Ketahanan serta integrasi ekonomi ini menjadi fondasi yang akan memberikan keuntungan di masa yang akan datang.