www.rincilokal.id – Konflik bersenjata antara Iran dan Israel yang dimulai pertengahan Juni 2025 mengguncang kawasan Timur Tengah dan menandai kegagalan sistem keamanan kolektif internasional dalam mencegah kebangkitan ketegangan. Situasi ini menjadi titik balik dalam geopolitik global, dimana dapat menguji ketahanan diplomasi multilateral, menimbulkan guncangan pada pasar energi, dan memperkuat realitas dunia yang semakin multipolar.
Ketika Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Donald Trump, mempertimbangkan keterlibatan militer langsung, perhatian global beralih ke China, negara yang selama ini menerapkan strategi diplomatik yang lebih halus. Namun, dilema muncul apakah China akan tetap berperan sebagai pembela status quo atau akan mengambil langkah sebagai pengelola krisis di panggung internasional.
Eskalasi Konflik dan Dampaknya terhadap Stabilitas Global
Serangan preemptive yang dilancarkan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran pada 13 Juni 2025 memicu serangan balasan berskala besar. Iran meluncurkan ratusan rudal dan drone hipersonik yang berhasil menembus sistem pertahanan Israel, menciptakan ketidakseimbangan kekuatan yang sangat rapuh.
Pemutusan intervensi militer oleh AS dapat mengubah konflik bilateral ini menjadi konflik multi-teater yang akan berdampak luas terhadap stabilitas regional. Selain dampak kemanusiaan, salah satu hasil nyata dari konflik ini adalah terganggunya jalur distribusi energi global yang sangat krusial.
Dengan 20 persen pasokan minyak mentah dunia melewati Selat Hormuz, potensi blokade Iran membuat pasar meningkat pesat. Harga Brent melonjak mendekati USD 79 per barel, menunjukkan bagaimana ketidakpastian geopolitik mempengaruhi reaksi pasar.
Apabila kondisi semakin memburuk, bukan tidak mungkin harga minyak melampaui USD 100. Mengingat keadaan ini mirip dengan lonjakan harga minyak pasca-invasi AS ke Irak pada tahun 2003, yang berkontribusi pada inflasi dan pengetatan kebijakan moneter di banyak negara.
Implikasi Terhadap Rezim Nonproliferasi dan Polarisasi Global
Konflik ini juga mengguncang tatanan internasional dengan potensi erosi terhadap rezim nonproliferasi nuklir. Jika Iran keluar dari Traktat Nonproliferasi Nuklir, tidak hanya wilayah Timur Tengah yang terancam, tetapi juga kredibilitas norma internasional yang telah dibentuk sejak era Perang Dingin.
Dalam konferensi tingkat tinggi BRICS di Rio de Janeiro, reaksi diplomatik mulai lahir. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menegaskan bahwa serangan Israel melanggar NPT dan Resolusi DK PBB, dan hal ini didukung oleh deklarasi bersama negara-negara BRICS+ yang mengutuk pelanggaran tersebut.
Keberpihakan ini memberikan Iran leverage diplomasi baru yang menunjukkan pola polarisasi tatanan internasional, memperkuat hubungan antara negara-negara di Global South dan kekuatan non-Barat seperti China dan Rusia. Hal ini menunjukkan perubahan dinamika hubungan internasional yang semakin kompleks.
China: Mengubah Pendekatan dari Hedging Menuju Kepemimpinan?
Dalam konteks geopolitik yang baru, Beijing menghadapi tantangan dalam kebijakan luar negerinya yang belum pernah ada sebelumnya. Sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, China memiliki kepentingan strategis dalam stabilitas kawasan Teluk, mengingat 15 persen impor minyak mentahnya berasal dari Iran.
Namun, hubungan strategis China dengan Teheran tidak bisa diabaikan. Perjanjian kemitraan strategis 25 tahun antara Iran dan China serta keterlibatan aktif dalam Organisasi Kerja Sama Shanghai menunjukkan adanya sinergi di antara keduanya. Di sisi lain, Israel tetap menjadi sekutu utama Amerika Serikat di kawasan, menimbulkan pertanyaan mengenai kapasitas China sebagai perantara yang netral.
Dari pengalaman masa lalu, rekam jejak diplomasi China mulai menunjukkan niatan untuk menjadi ‘norm entrepreneur’ dalam tatanan dunia pasca-hegemonik. Kesuksesan dalam memediasi rekonsiliasi Iran dan Arab Saudi pada 2023 menjadi langkah strategis bagi Beijing untuk memainkan peran lebih aktif di panggung dunia.
Krisis ini juga berdampak pada Indonesia, yang tidak hanya terikat oleh ekonomi global, tetapi juga menjadi bagian dari komunitas Muslim internasional. Gejolak harga minyak dan gangguan pasokan energi bisa berdampak pada stabilitas fiskal dan mempengaruhi kebijakan subsidi energi di tanah air.
Oleh karena itu, Indonesia perlu meningkatkan partisipasinya di forum multilateral seperti OKI dan ASEAN, serta menginisiasi kerangka pembangunan perdamaian yang inklusif berbasis diplomasi kolektif. Tatanan dunia yang semakin multipolar ini menunjukkan bahwa narasi kekuatan tidak lagi dimonopoli oleh negara Barat. Dalam konteks ini, menjadi aktor normatif yang mendorong nilai-nilai perdamaian semakin penting.
Krisis antara Iran dan Israel lebih dari sekadar konflik dua negara; ini adalah ujian bagi sistem internasional dari berbagai aspek, seperti keamanan, energi, dan solidaritas global. Menanti respon China, apakah mereka akan tetap sebagai kekuatan pasif atau bertransformasi menjadi kekuatan konstruktif yang mampu menjembatani krisis.
Bagi Indonesia, ini merupakan momen penting untuk bertindak. Dalam sejarah yang sedang ditulis ulang, menjadi mediator dalam skala kecil jauh lebih bermartabat dibandingkan hanya menjadi pengamat yang tidak berdaya. Langkah-langkah strategis kini sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan global yang kian kompleks.