www.rincilokal.id – ASEAN, atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, merupakan suatu kekuatan yang menyatukan ragam budaya dan tradisi di kawasan tersebut. Melalui hubungan yang terjalin selama bertahun-tahun, keanekaragaman ini terlihat jelas dalam berbagai bentuk, mulai dari seni hingga kuliner, dan bahkan dalam cara berinteraksi di antara masyarakatnya.
Indonesia, sebagai salah satu negara anggota, memiliki banyak warisan budaya yang telah diakui secara internasional. Salah satunya adalah batik, yang oleh UNESCO diakui sebagai warisan budaya dunia. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya budaya dalam mengidentifikasi jati diri suatu bangsa dalam konteks yang lebih luas.
Namun, tantangan terkini menghadapkan ASEAN pada realitas yang lebih kompleks, di mana ketegangan politik dan konflik bersenjata di antara negara-negaranya berpotensi memengaruhi hubungan budaya yang telah terjalin. Salah satunya adalah konflik terbaru yang terjadi antara Thailand dan Kamboja, yang menyita perhatian dunia internasional.
Menelusuri Akar Konflik Antara Thailand dan Kamboja
Konflik yang meletus pada 24 Juli 2025 ini mencerminkan ketegangan yang sudah lama ada di perbatasan kedua negara. Banyaknya lokasi budaya dan sejarah yang saling klaim menjadi pemicu utama ketegangan ini. Terlebih, bentrokan yang terjadi dekat candi Ta Muen Thom mengakibatkan korban jiwa, termasuk warga sipil, dan menciptakan arus pengungsi yang signifikan.
Pemerintah Thailand menggelontorkan anggaran pertahanan yang cukup besar, mencapai US$5,73 miliar, untuk mempersiapkan segala kemungkinan dalam konflik ini. Dengan kekuatan militer yang cukup besar, mereka tentu memiliki alasan kuat untuk melindungi wilayahnya. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan anggaran Kamboja yang hanya sekitar US$1,3 miliar, yang menggambarkan ketidaksetaraan dalam persiapan militer.
Salah satu dampak langsung dari konflik ini adalah hilangnya ruang untuk berdiskusi dan berkolaborasi dalam aspek budaya. Sebelumnya, berbagai program pertukaran budaya antara kedua negara berjalan lancar, mirip dengan jalinan persahabatan yang erat. Akan tetapi, sejak meningkatnya ketegangan, program-program tersebut terpaksa dihentikan.
Dampak Terhadap Budaya dan Sosial di Kawasan ASEAN
Konflik yang berkepanjangan dapat berpotensi merusak lingkungan budaya yang selama ini diupayakan untuk dijaga. Misalnya, larangan terhadap produk budaya termasuk seni dan kuliner dari Thailand dan Kamboja dapat menciptakan dampak jangka panjang pada identitas budaya. Akibatnya, kohesi sosial yang biasa terjalin mulai terkikis, sementara kebencian antar negara justru berkembang.
Lebih jauh lagi, ketegangan ini menimbulkan keraguan terhadap efektivitas ASEAN sebagai lembaga. Prinsip non-interference yang selama ini dijunjung tinggi mulai dipertanyakan karena banyak pihak menganggap bahwa tindakan lebih tegas diperlukan untuk menjaga stabilitas di kawasan.
Kritik terhadap relevansi ASEAN pun semakin mengemuka. Meskipun banyak negara anggota yang berupaya mendorong dialog dan penyelesaian damai, hasilnya belum terlihat signifikan. Hal ini menunjukkan kebutuhan untuk mereformasi cara kerja ASEAN dalam menyikapi krisis yang terjadi di tengah anggotanya.
Ekonomi Budaya dan Tantangan yang Dihadapi
Ketergantungan terhadap budaya sebagai sumber pendapatan juga sangat terlihat dalam sektor pariwisata. Negara-negara ASEAN, seperti Thailand dan Indonesia, sangat bergantung pada pendapatan dari pariwisata budaya yang kini terancam karena ketegangan ini. Data menunjukkan penurunan signifikan dalam jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan ini akibat dampak dari konflik.
Menariknya, sektor kreatif yang seharusnya menjadi jembatan antar negara justru menjadi korban dari ketegangan. Berbagai festival seni dan program pertukaran serta pelatihan juga terhadang akibat situasi ini. Hal ini menunjukkan betapa rapuhnya ikatan budaya yang seharusnya mampu menyatukan masyarakat ASEAN.
Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2024, ada 75 program pertukaran budaya yang berhasil diselenggarakan. Namun, sepanjang 2025, jumlah ini menurun lebih dari 80%. Dengan situasi seperti ini, pertanyaan mengenai relevansi ASEAN sebagai pelindung budaya dan keragaman kembali mencuat.
Membangun Kembali Jembatan Budaya di Tengah Ketegangan
Walaupun konflik ini mengganggu hubungan antar negara, penting untuk diingat bahwa budaya memiliki kekuatan untuk menyatukan. Oleh karena itu, langkah-langkah yang konstruktif diperlukan untuk membangun kembali hubungan yang telah rusak. Pertemuan dan dialog antar pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat sipil, menjadi kunci dalam mencari solusi jangka panjang.
Investasi dalam program budaya yang melibatkan semua pihak juga menjadi langkah strategis untuk memulihkan ketegangan. Ini tidak hanya akan meningkatkan pemahaman antar budaya tetapi juga membantu mengembangkan potensi ekonomi kreatif yang sebelumnya terabaikan. Jembatan budaya yang kuat akan menjadi landasan bagi kestabilan sosial dan ekonomi di kawasan ini.
Dalam konteks yang lebih luas, ASEAN harus belajar dari pengalaman ini untuk menghindari fragmentasi yang lebih dalam. Tantangan budaya dan ekonomi jangan sampai menjadi penghalang bagi kerjasama dan pertumbuhan di kawasan. Kekuatan kolektif ASEAN harus digali lebih dalam untuk menciptakan masa depan yang lebih harmonis dan berkelanjutan.
Budaya ASEAN yang kaya merupakan simbol dari keragaman dan pluralitas. Meski menghadapi tantangan besar, tekad untuk menjaga dan melestarikan budaya serta menjalin hubungan yang lebih baik harus tetap menjadi prioritas. Dengan demikian, kekuatan lembaga ini dalam memperkuat identitas budaya akan tetap relevan dan berdampak positif bagi semua negara anggotanya.