www.rincilokal.id – Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,12% pada kuartal II-2025, seperti yang diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), menjadi sebuah kabar baik di tengah berbagai tantangan global. Angka ini tidak hanya melampaui ekspektasi pasar, tetapi juga menunjukkan kelanjutan tren positif dari kuartal sebelumnya.
Yang menarik adalah sektor manufaktur yang mengalami pertumbuhan sebesar 5,68%. Meski data Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur menunjukkan angka di zona kontraksi (49,2) pada Juli 2025, pertumbuhan ini tetap mencerminkan optimisme di sektor tersebut.
Perbedaan antara pertumbuhan ekonomi dan PMI bisa jadi disebabkan oleh metodologi pengukuran yang berbeda. Namun, hal terpenting adalah bagaimana cara kita menjaga momentum pertumbuhan positif ini untuk akselerasi lebih lanjut.
Angka 5,12% masih jauh dari target ambisius 8% yang diharapkan dapat dicapai oleh pemerintahan Presiden Prabowo. Oleh karena itu, pengalaman negara-negara Amerika Latin dan Karibia, seperti Meksiko, Peru, dan Chile, patut untuk dijadikan pelajaran karena kaya akan sumber daya alam tetapi terjebak dalam stagnasi ekonomi.
Belajar dari Pengalaman Negara-Negara Lain untuk Pertumbuhan Ekonomi
Menurut laporan Bank Dunia, akar permasalahan stagnasi ekonomi di negara-negara LAC adalah lemahnya kompetisi pasar yang menghambat inovasi dan produktivitas. Dominasi segelintir perusahaan besar seringkali menguasai 20% hingga 60% pasar, menciptakan situasi monopoli yang merugikan.
Monopoli dapat mengurangi motivasi untuk berinovasi, sementara Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang menyerap sekitar 70% tenaga kerja, terjebak dalam isolasi. Situasi ini menjadi tantangan besar bagi pencapaian pertumbuhan yang berkelanjutan.
Di Chile, misalnya, hanya sekitar 10% dari perusahaan yang mampu berinovasi secara signifikan. Ironisnya, kekayaan sumber daya alam yang melimpah tidak cukup untuk mendorong produktivitas yang lebih tinggi. Situasi ini menunjukkan bahwa mekanisme pasar semata tidaklah mencukupi.
Strategi Transformasi Ekonomi yang Berhasil di Meksiko dan Peru
Peru menawarkan contoh menarik tentang bagaimana kombinasi kompetisi dan kolaborasi dapat membawa perubahan signifikan. Pada tahun 2013, otoritas persaingan Peru, Indecopi, melakukan penghapusan ribuan regulasi yang bersifat diskriminatif, yang menghambat akses pasar.
Pentingnya intervensi pemerintah terlihat pada upaya membangun klaster industri yang menghubungkan UMKM, universitas, dan perusahaan besar. Klaster ini menciptakan aliran umpan balik positif, yang berujung pada peningkatan efisiensi dan inovasi.
Di Meksiko, program B2B Business Platform mempertemukan UMKM dengan korporasi melalui platform berbasis data, yang membuka akses pasar global bagi pelaku usaha lokal. Dengan mendorong kolaborasi ini, Meksiko berhasil mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi oleh UMKM.
Penerapan Strategi Kolaboratif di Indonesia untuk Mendorong Pertumbuhan
Dengan momentum pertumbuhan 5,12% dan kinerja positif dari sektor manufaktur, Indonesia sebaiknya merancang strategi yang mengombinasikan kompetisi dengan kolaborasi. Langkah pertama yang bisa diambil adalah memperkuat regulasi pro-persaingan.
KPPU perlu diberikan wewenang untuk membatalkan regulasi yang sangat diskriminatif. Dengan dukungan payung hukum yang tidak hanya sebagai rekomendasi, regulasi pro-persaingan bisa menjadi alat efektif dalam menciptakan lingkungan yang lebih sehat.
Pembatasan kepemilikan saham silang di sektor-sektor strategis bisa dipertimbangkan, seperti yang berhasil diterapkan di Peru. Langkah ini akan mencegah terjadinya konglomerasi yang berlebihan dan mematikan ruang bagi pemain baru.
Pembangunan Infrastruktur Kolaborasi untuk Mendukung UMKM
Langkah kedua adalah membangun infrastruktur kolaborasi yang kokoh. Pengembangan platform berbasis data yang menghubungkan UMKM dengan perusahaan besar, seperti program “B2B Business Platform,” perlu menjadi fokus di Indonesia.
Di sektor logam dasar, misalnya, pertumbuhan yang tertinggi mencapai 14,91% (yoy). Kolaborasi antara perusahaan besar, UMKM, dan universitas akan mempercepat hilirisasi serta meningkatkan nilai tambah sektor tersebut.
Selain itu, insentif fiskal harus diberikan kepada perusahaan yang berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan (R&D), serta berupaya membina UMKM sebagai bagian dari rantai pasokan global. Inisiatif semacam ini dapat menumbuhkan ekosistem bisnis yang inklusif.
Berbagai strategi tersebut harus dijalankan secara terintegrasi karena ekonomi modern menuntut keseimbangan antara kompetisi dan kolaborasi. Kesehatan dari kompetisi dapat mendorong inovasi, sementara kolaborasi menjamin bahwa keuntungan dari pertumbuhan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Indonesia tidak harus mengalami hal serupa seperti yang dialami negara-negara LAC yang gagal memanfaatkan kekayaan alamnya. Saatnya berfokus tidak hanya pada pertumbuhan, tetapi juga membangun fondasi ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.
Dengan memadukan kecepatan kompetisi dan ketahanan kolaborasi, bukan hal yang mustahil untuk mencapai target pertumbuhan 8%. Momentum 5,12% yang telah diperoleh seharusnya menjadi pijakan yang kokoh untuk langkah selanjutnya, bukan sekadar angka yang berlalu.t