www.rincilokal.id – Pertemuan BRICS yang berlangsung pada awal Juli lalu memicu respons signifikan dari negara-negara anggota dan juga menciptakan dampak bagi hubungan internasional, terutama dengan Amerika Serikat. Ketegangan ini muncul, antara lain, akibat keputusan AS untuk menaikkan tarif dagang terhadap negara-negara BRICS, yang dianggap telah berpihak kepada musuh-musuhnya seperti Iran dan Rusia.
Kebijakan tersebut tentunya membawa dampak bagi Indonesia, yang kini terjebak dalam posisi dilematis. Terlebih, keikutsertaan Indonesia dalam BRICS+, yang terdiri dari negara-negara berkembang, menimbulkan keraguan banyak pihak mengenai tujuan dan arah kebijakan luar negeri Indonesia di pentas global.
BRICS, yang awalnya merupakan forum ekonomi yang diinisiasi oleh Rusia dan China pada tahun 2009, kini semakin berkembang dengan kehadiran negara-negara lain seperti Iran dan Arab Saudi. Forum ini berupaya untuk menandingi pengaruh Barat, khususnya G7 dan G20, sekaligus menjadi solusi bagi negara-negara berkembang dalam menghadapi tantangan-tantangan ekonomi global.
Dari perspektif politik luar negeri, kehadiran Indonesia dalam BRICS dirasa kontroversial. Meskipun Menteri Luar Negeri Sugiono menyatakan bahwa langkah ini menunjukkan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, banyak kalangan berpendapat sebaliknya. Ini menciptakan tantangan dan potensi risiko bagi stabilitas ekonomi Indonesia ke depan.
Dinamika Global dan Posisi Indonesia dalam BRICS
Pada awal 2025, Indonesia resmi bergabung dengan BRICS, meskipun keputusan ini mengundang kritik. Prabowo Subianto menyatakan bahwa keanggotaan ini merupakan upaya untuk menurunkan tensi konflik internasional dan mendorong kerja sama, tetapi banyak yang meragukan efektivitas langkah tersebut.
Tidak hanya sekadar keanggotaan, tetapi ada kekhawatiran bahwa Indonesia akan terjebak dalam aliansi yang lebih besar dengan negara-negara yang memiliki agenda berbeda. Hal ini tampak dari reaksi yang beragam terhadap invasi Rusia ke Ukraina, di mana Indonesia memilih untuk bersikap diplomatis alih-alih mengecam tindakan tersebut secara terbuka.
Situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia berada di persimpangan antara dua kekuatan besar: AS yang berupaya menjaga dominasi global dan BRICS yang berambisi menandingi pengaruh Barat. Hal ini semakin memperumit posisi strategis Indonesia di mata dunia internasional.
Tantangan Hubungan Dagang dengan Amerika Serikat
Dalam konteks ekonomi, Indonesia sebelumnya berharap akan mencapai kesepakatan yang menguntungkan dengan AS untuk mengurangi tarif dagang. Namun, kenyataan justru berbanding terbalik ketika Trump memutuskan untuk menaikkan tarif tambahan terhadap produk-produk Indonesia.
Akibat dari kebijakan ini, proyeksi surplus dagang Indonesia pada tahun 2024 sebesar 25,5 miliar dolar menjadi terancam. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang bergantung pada ekspor, menghadapi tantangan serius dengan kenaikan tarif ini yang dapat mengakibatkan penurunan volume perdagangan dengan AS.
Produk-produk unggulan Indonesia, termasuk mesin dan peralatan listrik, terancam kehilangan pangsa pasar, sementara ekspor mereka yang mencapai nilai tinggi selama ini berpotensi tergerus oleh kebijakan tarif yang semakin ketat. Ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu bergerak cepat untuk mengantisipasi dampak tersebut.
Pentingnya Negosiasi dan Strategi Diplomasi
Dengan penerapan tarif baru yang dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Agustus 2025, Indonesia masih memiliki waktu untuk merundingkan kebijakan ini. Momen ini menjadi krusial bagi pemerintahan untuk mengoptimalkan negosiasi dan membawa diplomasi di level yang lebih strategis agar hasilnya dapat menguntungkan.
Presiden Trump telah menekankan bahwa Indonesia perlu menciptakan investasi di AS untuk mendapat keringanan tarif, yang menunjukkan bahwa pendekatan ini memerlukan kalkulasi bisnis yang mendalam. Indonesia tidak hanya harus menyusun rencana yang solid, tetapi juga meningkatkan ketahanan diplomasi dalam perundingan tersebut.
Negara juga perlu beradaptasi dengan situasi geopolitik yang terus berkembang, yang mengharuskan perubahan dalam pendekatan dan strategi diplomasi. Kearifan dalam memanfaatkan kesempatan serta merespons tantangan akan sangat menentukan posisi internasional Indonesia di masa depan.
Menyusun Ulang Strategi Global Indonesia
Keputusan untuk bergabung dalam BRICS dinilai sebagai pilihan yang perlu dievaluasi kembali. Sejak awal era kepemimpinan Joko Widodo, tampak bahwa keanggotaan dalam BRICS bukanlah prioritas utama bagi Indonesia, yang lebih memerlukan fokus ke dalam dan kerjasama yang berkelanjutan dengan negara-negara maju dalam OECD.
Keberadaan Indonesia di dalam organisasi OECD diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih nyata, termasuk arus masuk investasi yang diperkirakan mencapai 87,7 miliar dolar pada tahun 2028. Ini merupakan langkah strategis yang lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan risiko yang dihadapi dalam BRICS.
Kesimpulan dari seluruh dinamika ini adalah bahwa Indonesia perlu melakukan refleksi mendalam mengenai posisi dan arah kebijakan luar negerinya. Hal ini merupakan langkah penting dalam menghadapi tantangan yang ada dan memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil dapat mendatangkan kebaikan bagi negara.