www.rincilokal.id – Konferensi Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-3 (UNOC-3) telah menandai suatu tonggak penting dalam usaha global untuk melindungi lautan. Diadakan di Nice, Prancis, pada tanggal 13 Juni 2025, konferensi ini menghasilkan Nice Ocean Action Plan, sebuah dokumen bernilai tinggi yang menegaskan komitmen negara-negara peserta untuk mempercepat upaya perlindungan laut serta mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 14 (SDG 14) yang berfokus pada konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya laut.
Dalam resolusi yang dihasilkan, negara-negara peserta sepakat pada tiga prioritas strategis: penerapan High Seas Treaty (Biodiversity Beyond National Jurisdiction / BBNJ), mobilisasi pembiayaan biru untuk konservasi laut, serta penguatan sains kelautan yang inklusif dan terbuka. UNOC 2025 kemudian menjadi momentum untuk beralih dari sekadar janji menjadi aksi nyata dalam upaya menyelamatkan lautan secara kolektif.
Laut sebagai Medium Diplomasi Global
Indonesia hadir dalam UNOC 2025 dengan misi yang jelas: menjadikan laut sebagai alat utama dalam diplomasi luar negeri. Di bawah kepemimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan, delegasi Indonesia berupaya menunjukkan peran aktifnya sebagai inisiator dalam diplomasi biru. Konsep diplomasi biru ini menempatkan lautan sebagai basis kerja sama internasional, investasi berkelanjutan, serta pusat pengembangan pengetahuan dan teknologi terkait kelautan.
Indonesia, dengan wilayah laut lebih dari 6,4 juta km² dan lebih dari 17 persen terumbu karang dunia, memiliki potensi untuk menjadi pemimpin dalam tata kelola laut internasional. Dalam konteks ini, peran Indonesia dalam menghadapi tantangan kelautan menjadi semakin signifikan, tidak hanya untuk kepentingan domestik tetapi juga untuk lingkungan global yang lebih luas.
Pentingnya Implementasi BBNJ dalam Konteks Global
Salah satu langkah krusial yang diambil Indonesia selama UNOC 2025 adalah ratifikasi High Seas Treaty atau BBNJ. Perjanjian ini merupakan langkah vital dalam mengatur konservasi dan pemanfaatan sumber daya laut di wilayah laut lepas, yang berada di luar yurisdiksi negara-negara. Meratifikasi BBNJ setelah dua dekade negosiasi, menegaskan komitmen Indonesia terhadap tata kelola laut yang berkelanjutan.
Ratifikasi ini tidak hanya menguntungkan Indonesia sebagai negara kepulauan, tetapi juga memperkuat posisinya di mata dunia sebagai pemimpin di kalangan negara-negara berkembang. Perjanjian ini membuka jalur kerja sama dalam penelitian ilmu kelautan, akses teknologi konservasi, dan distribusi manfaat sumber daya genetik laut secara adil—hal yang menjadi semakin penting di era bioteknologi saat ini.
Dari segi geopolitik, langkah ini meningkatkan citra Indonesia sebagai negara yang progresif, berkomitmen untuk multilateralisme dalam isu lingkungan. Keberanian Indonesia dalam mengambil langkah ini menunjukkan ambisi untuk mengubah cara bagaimana laut dikelola secara global.
Kebijakan yang diajukan Indonesia selama konferensi ini mencakup berbagai inovasi, seperti penguatan pengelolaan laut berbasis sains, pengenalan sistem kuota penangkapan ikan, serta perluasan kawasan konservasi laut. Teknologi penyelamatan laut lewat pengawasan satelit juga menjadi bagian dari langkah yang diambil untuk merangi praktik penangkapan ikan ilegal.
Lebih dari itu, Indonesia juga meluncurkan instrumen keuangan baru, yaitu Indonesia Coral Reef Bond. Ini merupakan inisiatif unik yang menghubungkan investasi finansial dengan hasil nyata dalam konservasi laut, di mana obligasi ini dijamin oleh lembaga keuangan internasional dan dikelola oleh badan dalam negeri.
Delegasi Indonesia juga menekankan pentingnya akses pasar yang adil bagi nelayan kecil, yang berkontribusi lebih dari 90 persen pada aktivitas perikanan tangkap. Ini menunjukkan upaya mendukung masyarakat perikanan lokal sambil memastikan sektor kelautan tetap berkelanjutan.
Partisipasi Indonesia di UNOC 2025 tidak semata untuk pencitraan, melainkan merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk memperkuat peran Indonesia sebagai pemimpin di isu lingkungan. Platform berikutnya adalah Ocean Impact Summit 2026 yang dijadwalkan akan diselenggarakan di Indonesia. Forum ini akan membahas empat isu utama: Blue Food, Blue Economy, Blue Energy, dan Blue Diplomacy, menegaskan bahwa diplomasi biru Indonesia akan terus berlanjut dan berkembang menjadi kekuatan transformasional.
Dengan partisipasi aktif di UNOC 2025, Indonesia telah menunjukkan bahwa menjaga laut bukan hanya tanggung jawab nasional, tetapi juga merupakan kontribusi bagi seluruh umat manusia. Untuk menyelamatkan samudera, dunia membutuhkan solidaritas dan regulasi kolektif yang lebih efektif. Melalui diplomasi biru, Indonesia telah menunjukkan komitmennya untuk tidak hanya menjaga lautan sendiri tetapi juga berkontribusi terhadap masa depan laut di seluruh dunia.
Dari laut kita hidup, dari laut kita berbicara kepada dunia.