www.rincilokal.id – Kita hidup di era modern yang memberikan kemudahan dalam menghitung banyak aspek kehidupan, mulai dari pengeluaran hingga investasi. Meski demikian, dalam upaya mencapai efisiensi maksimal, kita sering kali melupakan nilai-nilai mendasar dalam hubungan manusia, terutama dalam konteks keluarga. Keluarga, yang sejatinya merupakan pondasi sosial, kini banyak dilihat sebagai beban, dan dalam situasi ini, perhatian kita seolah beralih kepada hal-hal yang lebih pragmatis.
Perubahan sikap terhadap keluarga ini bisa dikaitkan dengan cara berpikir ekonomi yang mulai mengancam makna relasi lebih dalam. Ketika keputusan untuk menikah atau memiliki anak sering kali terdistorsi oleh kalkulasi biaya dan keuntungan, kita mulai kehilangan sentuhan humanis dalam perjalanan hidup ini.
Artikel ini mengajak kita merenungkan dampak dari logika rasional terhadap kehidupan berkeluarga. Di satu sisi, kita merasa lebih “bercerdas” dalam membuat keputusan, tetapi di sisi lain, kita mengorbankan kehangatan serta kasih sayang yang menjadi ciri khas hubungan manusia.
Gary Becker dan Jargon Ekonomi dalam Keluarga
Pada tahun 1960-an, Gary Becker, seorang ekonom dari Universitas Chicago, memperkenalkan ide-ide radikal yang menantang pandangan konvensional tentang keluarga. Ia menerapkan konsep-konsep ekonomi pada aspek-aspek kehidupan yang selama ini dianggap terlalu emosional untuk dianalisis, seperti pernikahan dan pendidikan anak. Pikirannya membawa pengaruh besar, memobilisasi pemikiran ekonomi ke dalam ruang yang seharusnya dipenuhi dengan cinta dan kehangatan.
Becker berargumen bahwa keputusan untuk menikah dan memiliki anak adalah bagian dari kalkulasi biaya-manfaat yang rasional. Dalam pandangannya, cinta dan komitmen dapat dianalisis dengan cara yang sama seperti keputusan finansial. Hal ini mengubah cara kita memandang pernikahan, menjadikannya sebagai strategi ekonomi daripada ungkapan perasaan yang tulus.
Saat kita melihat keluarga sebagai unit ekonomi, banyak dari kita mulai mengabaikan elemen yang tidak terukur, seperti kasih sayang, kerinduan, dan komitmen. Meski Becker berhasil merumuskan banyak konsep penting, ada pengorbanan yang besar ketika penekanan pada efisiensi menghapuskan keindahan relasi yang lebih dalam dalam sebuah keluarga.
Dampak Sosial dan Globalisasi terhadap Keluarga
Di dejad yang semakin efektif, kita menyaksikan dampak luas dari pendekatan ekonomi yang kaku ini pada struktur keluarga. Banyak orang dewasa muda menjadi ragu untuk menikah atau memiliki anak, menganggap biaya dan tanggung jawab yang harus ditanggung lebih besar daripada manfaat emosionalnya. Di beberapa negara maju, angka perkawinan dan kelahiran terus menurun, menunjukkan bahwa logika ekonomis lebih mendominasi daripada perasaan hati.
Di Korea Selatan, misalnya, banyak orang melaporkan ketidaksesuaian antara harapan hidup dan kenyataan menghadapi biaya yang meningkat. Mereka menyebut diri mereka “N-Po Generation,” yang berarti generasi yang menolak untuk menikah dan punya anak. Tidak ada kebencian terhadap cinta, tetapi beban finansial menjadi terlalu berat untuk diatasi.
Fenomena serupa juga terlihat di Jepang, di mana banyak keluarga muda memilih untuk hidup sendiri dalam sistem yang lebih efisien dari segi biaya, menjauh dari beban emosional yang sering muncul dalam hubungan. Apartemen merangsek menggantikan rumah tangga, dan generasi muda semakin terisolasi dari tradisi keluarga yang hangat.
Indonesia dalam Perubahan Sosial dan Keluarga
Dipandang dari perspektif kita, Indonesia pun tidak bebas dari pengaruh globalisasi dan tren yang berkembang. Di tengah kesibukan hidup, kita melihat banyak keluarga muda yang lebih memilih tinggal di apartemen dengan layanan yang terkomersialisasi daripada merawat tradisi menghimpun keluarga di satu atap. Makanan yang disajikan tidak lagi datang dari dapur sendiri, melainkan dari aplikasi pengantaran makanan.
Relasi yang seharusnya dekat mulai terputus oleh berbagai bentuk efisiensi. Anak-anak lebih sering diasuh oleh pengasuh atau terpaksa berinteraksi dengan teknologi daripada oleh orang tua mereka sendiri. Hal ini menciptakan kesenjangan emosional yang signifikan yang berlaku saat orang tua terpaksa bekerja lebih keras untuk memenuhi standar ekonomi yang ditentukan oleh sistem yang lebih besar.
Keluarga di Indonesia mungkin belum sepenuhnya runtuh, tetapi kita sedang menyaksikan sebuah transformasi yang halus dan bertahap. Tradisi dan kehangatan yang selama ini kita jaga mulai digantikan oleh rutinitas yang mekanis dan transaksional, di mana interaksi manusia sering kali tercampur dengan kegagalan dalam memberikan kasih sayang secara langsung.
Kembali kepada Makna Keluarga dan Hubungan Manusiawi
Di tengah pesatnya perubahan yang terjadi, penting bagi kita untuk kembali merenungkan makna sesungguhnya dari sebuah keluarga. Apakah kita hanya hidup untuk memenuhi kebutuhan material, atau adakah ruang untuk hubungan yang bermakna dan autentik? Konsep Jabal Rahmah, sebuah tempat yang melambangkan kasih sayang dan reuni, seharusnya menjadi pengingat bagi kita tentang pentingnya kembali pada nilai-nilai cinta dan kerinduan satu sama lain.
Kita perlu menyadari bahwa kasih sayang tidak bisa dinilai dengan angka, dan cinta tidak dapat digantikan oleh perhitungan ekonomis. Pertemuan antara Adam dan Hawa di Jabal Rahmah tidak didasarkan pada hitungan matematis tetapi didasari oleh kerinduan dan harapan untuk saling merasakan kehadiran satu sama lain. Keberanian untuk mencintai, untuk berbagi, dan untuk saling menunggu adalah aspek-aspek yang tidak terukur namun sangat berharga dalam perjalanan hidup kita.
Kita perlu mereset cara berpikir kita mengenai keluarga. Di tengah dunia yang semakin cepat dan efisien, kita harus menemukan kecepatan dan makna dalam hubungan. Mungkin inilah saatnya bagi kita untuk berani membangun kembali pelukan yang hangat, untuk saling berbagi kehadiran, dan untuk saling menuntun dalam perjalanan kehidupan ini di tengah tantangan yang ada.