www.rincilokal.id – Pada tahun 2025, Max Weber terbangun dari mimpi panjangnya dan nyatanya dunia yang ia bayangkan kini telah berubah drastis. Kota Jakarta yang pernah bergemuruh penuh semangat kerja, kini tampak kering dari makna dan panggilan. Dalam pandangannya, dunia modern tidak lagi dijiwai oleh nilai-nilai yang memberi arti pada pekerjaan, tetapi terjebak dalam rutinitas tanpa tujuan yang jelas.
Banyak pekerja yang tampaknya bergerak di tengah hiruk-pikuk kehidupan perkotaan, tetapi sejatinya mereka terasing dari misi hidup mereka. Pekerjaan bukan lagi dianggap sebagai ibadah, melainkan sekadar kewajiban untuk memenuhi target dan mempertahankan hidup. Weber bertanya-tanya, ke mana hilangnya esensi beruf yang pernah menyatukan individu dengan tugas mereka?
Di era ini, manusia kembali mempertanyakan, “Apa arti dari semua ini?” Panggilan untuk bekerja dan memberi dampak positif semakin kabur, terutama bagi generasi muda yang terjebak dalam tekanan untuk selalu mengikuti perkembangan dan memenuhi ekspektasi sosial yang tidak berujung. Mereka mencari jalan keluar, bukan untuk menemukan makna dalam pekerjaan, tetapi untuk menghindari beban yang kian berat.
Perubahan Paradigma Kerja dan Kehidupan Manusia
Perubahan yang terjadi dalam paradigma kerja memberikan dampak signifikan. Banyak orang bekerja bukan lagi untuk memenuhi kepuasan batin tetapi untuk bertahan hidup dalam sistem yang kian kejam. Kehidupan di tempat kerja yang dulunya memberi spirit kini lebih mirip dengan sebuah penjara tanpa jeruji, di mana setiap hari berlalu dengan menanti waktu pulang.
Dahulu, pekerjaan dianggap sebagai bagian integral dari identitas seseorang. Seorang tukang kayu atau pembuat sepatu tidak hanya mencari uang, tetapi juga menemukan kehormatan dan rasa tanggung jawab dalam pekerjaan mereka. Namun, kini banyak yang hanya terpaku pada gaji dan tunjangan, tanpa memahami nilai lebih dari apa yang mereka kerjakan.
Weber merefleksikan kembali, di masa lalu, seorang ayah pulang kerja dengan senyum bangga di wajah. Kini, mereka pulang dengan lelah dan tidak merasa puas. Anak-anak pun tidak lagi bercita-cita untuk mengikuti jejak orang tua mereka. Sebaliknya, mereka berimajinasi tentang kebebasan yang seringkali hilang dari jangkauan. Mereka tidak mencari panggilan, melainkan cara untuk terhindar dari kewajiban.
Menemukan Kembali Makna dalam Pekerjaan
Beruf, dalam pandangan Weber, adalah konsep yang sangat penting dan harus dipahami kembali. Bergantung pada panggilan, hubungan antara manusia dan pekerjaan harusnya dibangun dalam kepercayaan dan komitmen, bukan sekadar transaksi semata. Hidup harus lebih dari sekadar mengejar keuntungan, tetapi juga memberikan kontribusi kepada orang lain dan dunia.
Sejumlah orang mungkin telah kehilangan perjalanan menuju beruf, tetapi tidak semua harapan hilang. Di tengah kebisingan urban, terdapat komunitas yang saling mendukung, di mana orang-orang bekerja tidak hanya untuk diri mereka sendiri tetapi juga untuk kebaikan bersama. Di sana, nilai-nilai yang hilang bisa ditemukan kembali, bahkan dalam ruang seminar kecil atau kedai kopi sederhana.
Di kedai kopi yang tidak terlalu terkenal, para barista dan pelanggan saling mengenal dengan baik. Setiap seduhan kopi diceritakan dan dihargai. Di sini, tidak ada transaksi tanpa makna; semuanya dilandasi oleh hubungan antarmanusia yang tulus. Begitu pula di dapur rumah makan yang berdiri kokoh selama puluhan tahun, pekerjaan dilakukan tidak semata untuk profit, tetapi sebagai ibadah yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Refleksi tentang Masa Depan Ekonomi dan Pekerjaan
Kehilangan panggilan dalam pekerjaan dapat menciptakan kesenjangan yang lebih besar dalam masyarakat. Semakin banyak orang yang hanya menjalani hidup demi memenuhi kebutuhan dasar tanpa kerinduan untuk memberikan makna pada pekerjaan mereka. Weber menyadari bahwa untuk membangkitkan kembali Beruf, dibutuhkan lebih dari sekadar sistem pendidikan dan peraturan pemerintah yang baru.
Ekonomi yang tidak mengakomodasi nilai-nilai ini pasti akan mengalami kekeringan. Ketika kapitalisme tidak terinspirasi oleh panggilan, ia hanya menjadi mesin yang mendorong keuntungan tanpa makna. Kita berada di persimpangan, di mana manusia harus memilih untuk mengutamakan pendekatan yang lebih manusiawi, bukan sekadar efisiensi semata.
Pekerjaan yang dilakukan untuk sekadar menyenangkan algoritma atau memenuhi KPI (Key Performance Indicators) tanpa jiwa, pada akhirnya hanya akan menyurutkan keterikatan emosional manusia dengan hasil kerjanya. Maka penting untuk memupuk kembali rasa bangga terhadap pekerjaan yang dilakukan dengan cinta, keahlian, dan ketulusan.
Weber merenungkan, di akhir harinya, bahwa Beruf tidak akan mati. Meskipun dalam banyak hal ia terlupakan, masih ada secercah harapan dalam diri-diri yang terlibat dalam pekerjaan dengan sepenuh hati. Dengan membangun kembali nilai-nilai Beruf, mungkin kita dapat menemukan makna yang selama ini hilang dalam dunia pekerjaan modern.