www.rincilokal.id – Fluktuasi harga karbon menghadirkan tantangan signifikan bagi transisi menuju sumber energi yang lebih berkelanjutan di Indonesia. Pada saat dunia bergerak menuju ekonomi rendah karbon, instrumen yang seharusnya menjadi pilar utama—yakni harga karbon—kini sedang berada dalam keadaan yang rapuh dan dipenuhi ketidakpastian.
Contohnya, harga kredit karbon sukarela di Asia Tenggara turun drastis dari US$13 menjadi di bawah US$5 per ton CO₂-e dalam satu tahun terakhir. Ketidakpastian ini membuat para investor dan pelaku industri terasa enggan untuk berinvestasi di teknologi hijau yang dibutuhkan untuk mempercepat transisi tersebut.
Negara-negara seperti Kanada dan Jerman lebih dahulu mengantisipasi masalah ini dengan melakukan inovasi pada harga karbon melalui skema seperti carbon price backstop dan carbon contracts-for-difference (CCfD). Dalam mekanisme ini, saat harga pasar karbon anjlok di bawah ambang tertentu, pemerintah akan menjamin selisihnya agar proyek dekarbonisasi tetap memperoleh pendanaan yang layak.
Perlunya Sistem Penyangga Harga Karbon di Indonesia
Meski Indonesia memiliki landasan hukum untuk membangun sistem serupa, implementasinya masih tertunda. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan telah mencakup dasar mengenai pajak karbon, tetapi pelaksanaannya memerlukan langkah strategis agar efektif.
Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan ruang untuk penggunaan instrumen ekonomi lingkungan. Ini secara praktis membuka kemungkinan pembentukan Carbon Backstop Fund (CBF) yang beroperasi di bawah Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
CBF berfungsi sebagai mekanisme penyangga harga karbon, memberikan perlindungan kepada industri yang berinvestasi dalam teknologi rendah karbon saat harga pasar menurun. Ketika harga karbon melemah, dana dari CBF akan mencukupi selisih hingga tercapai harga yang disepakati, menjaga keberlangsungan proyek dekarbonisasi.
Manfaat Strategis dari Carbon Backstop Fund
Dalam hal ini, CBF tidak hanya memberikan jaminan harga tetapi juga kreasi stabilitas tanpa membebani fiskal negara. Dengan mengurangi volatilitas harga karbon, biaya modal dalam proyek dekarbonisasi akan lebih terjangkau dan menarik lebih banyak investasi.
Risiko dalam pembiayaan, terutama terkait proyek-proyek yang sensitif terhadap fluktuasi harga, dapat diminimalkan. Dengan adanya jaminan harga dari CBF, lembaga keuangan akan lebih yakin memberikan pendanaan untuk inisiatif hijau, seperti pabrik baja atau proyek energi hidrogen.
Penting juga untuk dicatat bahwa desain CBF dengan struktur yang fleksibel bisa menjadi aset. Sumber dana awal dapat berasal dari hasil lelang izin emisi atau pungutan ekspor batu bara, yang kemudian diinvestasikan kembali untuk program-program dekarbonisasi yang terverifikasi.
Proyeksi Dampak CBF dalam Ekonomi Hijau dan Risiko Kebocoran
Sistem ini diharapkan dapat mengurangi embedded cost dari produksi hidrogen hijau dalam industri pupuk, sehingga produk hijau dapat bersaing dengan produk konvensional. Selain itu, CBF dapat berkontribusi pada anggaran negara secara positif, menggantikan beban subsidi energi fosil yang selama ini tinggi.
Risiko terkait dengan kebocoran dana atau windfall profit dapat diminimalkan melalui kontrak jangka panjang. Algoritma yang diterapkan dalam IDXCarbon mampu memastikan kepatuhan perusahaan dalam menyetor kembali kelebihan dana ketika harga pasar lebih tinggi dari ambang yang ditetapkan.
Dengan ketepatan dalam pelaksanaan dan audit independen, kualitas sistem registri dapat dijaga. Mekanisme ini akan memperkuat kepercayaan publik serta minat investor dalam berinvestasi di bursa karbon yang baru lahir di Indonesia.
Peluang Indonesia dalam Membangun Ekosistem Karbon yang Stabil
Pada akhirnya, CBF tidak hanya memberikan kesempatan untuk mendorong investasi hijau tetapi juga menstabilkan pasar karbon domestik. Jika institusi keuangan bersedia berpartisipasi dalam penerbitan green bonds, maka ini bisa memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu negara pelopor dalam inisiatif keberlanjutan di Asia.
Langkah ini tentu saja bukan sekadar reformasi teknis, melainkan penentu masa depan ekonomi hijau yang berkelanjutan. Menandatangani “polis asuransi karbon” bagi industri akan menjadi langkah yang signifikan untuk memastikan bahwa Indonesia tidak tertinggal dalam agenda global dekarbonisasi.
Kesempatan untuk mengubah wajah industri dan memperkuat perekonomian hijau kini berada di tangan pemerintah. Langkah nyata harus segera diambil karena kita tidak bisa terus menunggu untuk melakukan perbaikan—masa depan tidak menunggu.
Dengan orientasi yang tepat, harapan akan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan bisa menjadi kenyataan. Sebuah tindakan sekarang adalah sebuah investasi untuk generasi mendatang serta bumi yang lebih sehat.