www.rincilokal.id – Istilah ‘hidung belang’ seringkali diasosiasikan dengan pria yang suka mempermainkan wanita. Asal-usul istilah ini memiliki latar belakang sejarah yang cukup dramatis, yaitu tragedi cinta dua remaja di zaman Batavia kolonial yang terjebak dalam aturan ketat pada masa itu.
Di tengah pembatasan yang diberlakukan oleh penguasa VOC, kisah cinta antara Pieter Cortenhoeff, seorang tentara muda, dan Sara Speckx, seorang gadis muda berusia 13 tahun, mulai berkembang. Kehidupan mereka diwarnai oleh rasa terlarang yang memicu berbagai aksi berani.
Karena lingkungan yang tertekan, pertemuan mereka penuh rahasia dan resiko. Meskipun ada ancaman hukuman, mereka tetap berusaha mempertahankan cinta mereka dengan cara yang berani dan tidak ortodoks.
Kisah Cinta yang Terlarang di Zaman Kolonial
Pieter Cortenhoeff adalah seorang tentara tampan yang bertugas di Kastil Batavia. Di usianya yang masih sangat muda, ia menjadi pujaan hati banyak wanita, terutama Sara, yang merupakan anak dari pejabat tinggi Belanda.
Sara, dengan kecantikan yang mencolok, mewarisi pesona campuran antara Belanda dan Jepang. Ketika ayahnya bertugas jauh, dia tinggal bersama Gubernur Jenderal J.P Coen, di mana ia berkesempatan sering berkunjung ke Kastil Batavia.
Di sinilah pertemuan pertama mereka terjadi, saat tatapan mereka bertemu. Perasaan saling suka itu tumbuh di tengah ketegangan, karena hubungan antara seorang tentara dan gadis pejabat jelas sangat terlarang.
Meski dilarang, cinta mereka tak dapat terhalang. Pieter dan Sara melakukan segala cara agar bisa bertemu, termasuk menyuap penjaga untuk mengadakan pertemuan rahasia pada malam hari.
Pertemuan Rahasia yang Membawa Kebinasaan
Selama berbulan-bulan, hubungan mereka berjalan subur meski diwarnai risiko besar. Saat malam gelap tiba, mereka bertemu di tempat rahasia, merasa seakan dunia tidak ada yang mencampuri cinta mereka.
Namun, keberuntungan tidak selalu berpihak kepada mereka. Suatu malam, saat keduanya berada di rumah pribadi J.P Coen, mereka dipergoki oleh petugas yang kebetulan melintas.
Segera setelah diadukan, J.P Coen merasa terhina dikhianati oleh dua orang yang seharusnya tidak menjalin hubungan. Tanpa pikir panjang, dia menjatuhkan vonis hukuman mati kepada pasangan muda itu, membuat semua orang di Batavia terkejut.
Kejadian ini menjadi sorotan publik. Banyak pendeta dan warga komunitas meminta pengampunan karena mereka masih sangat muda dan cinta mereka wajar belaka. Namun, semua usaha tersebut sia-sia, karena Coen tetap pada pendiriannya.
Hukuman Yang Mengerikan dan Akibatnya
Eksekusi mereka disiapkan di depan Balai Kota, tempat para penonton berkumpul untuk menyaksikan drama tragis ini. Dari sel mereka ditarik, dengan kondisi penuh ketakutan dan harapan yang pupus seiring langkah menuju tempat eksekusi.
Pakaian Sara dilucuti dengan kejam, sementara Pieter, yang berkulit putih, wajahnya dicorat-coret dengan tinta hingga mencolok dan terlihat belang. Hal ini dilakukan sebagai simbol dari perbuatan asusila yang mereka lakukan.
Di tengah tangisan dan jeritan ampunan yang memenuhi udara, kepala keduanya dipenggal. Saat kepala Pieter jatuh, teriakan “Hidung Belang!” menggema di antara kerumunan. Sejak saat itu, istilah tersebut mulai dikenal luas.
Kini, istilah ‘hidung belang’ bukan hanya menggambarkan tindakan asusila, tetapi juga melambangkan gaya hidup pria yang mengabaikan moralitas dan mempermainkan perasaan wanita. Tragedi ini sangat berpengaruh dalam budaya dan bahasa sehari-hari masyarakat Indonesia.