www.rincilokal.id – Dunia kini berada dalam situasi genting, terutama berkenaan dengan isu pasokan energi global, setelah Iran melontarkan ancaman untuk menutup Selat Hormuz. Selat ini merupakan jalur strategis bagi perdagangan minyak internasional, dan ancaman ini muncul setelah ketegangan meningkat akibat serangan presiden AS terhadap instalasi yang diklaim sebagai fasilitas nuklir Iran.
Ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat bukanlah hal baru dalam sejarah geopolitik. Sejak dekade-dekade awal abad ke-20, isu minyak telah menjadi penggerak utama konflik dan intrik internasional, yang memperlihatkan betapa pentingnya sumber daya alam bagi kestabilan politik dan ekonomi dunia.
Operasi yang dilakukan oleh negara-negara besar untuk menguasai sumber daya ini seringkali berujung pada konflik bersenjata dan krisis sehingga menyebabkan dampak yang lebih luas, baik bagi hubungan antarnegara maupun bagi masyarakat di kawasan yang terlibat.
Sejarah Ketegangan Minyak antara Iran dan Barat
Alienasi politik yang dialami Iran setelah Revolusi Islam 1979 menciptakan ketegangan yang berkepanjangan dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Ketegangan ini berakar dari kekecewaan sejarah yang panjang mengenai penguasaan minyak di kawasan tersebut, dimana Iran dianggap sebagai negara strategis dan sumber utama kebutuhan energi global.
Pada masa awal Perang Dingin, kepentingan energi menjadi semakin mendesak, dan Iran yang memiliki cadangan minyak yang melimpah menjadi pusat perhatian. Ketika Mohammad Mossadegh terpilih sebagai Perdana Menteri, ide nasionalisasi industri minyak mengubah dinamika kekuasaan yang ada.
Pendirian tersebut memicu reaksi keras dari negara-negara Barat, terutama Inggris dan Amerika Serikat, yang merasa terancam oleh langkah tersebut. Upaya Mossadegh untuk merebut kembali kendali atas sumber daya energi Iran menjadi titik tolak bagi intervensi asing.
Operasi Ajax dan Penggulingan Mossadegh
Setelah nasionalisasi diumumkan pada tahun 1951, Mossadegh mendapat dukungan yang luas dari rakyat Iran. Namun, langkah ini langsung mengundang sanksi dan embargo dari Inggris, yang menguatkan tekad Mossadegh untuk mempertahankan kedaulatan ekonomi Iran.
Dampak dari kebijakan tersebut semakin memperburuk hubungan antara Iran dan Barat. Untuk mengatasi krisis ini, CIA dan MI6 meluncurkan rencana rahasia pada tahun 1953 yang dikenal sebagai Operasi Ajax. Rencana ini bertujuan untuk menggulingkan Mossadegh dengan menciptakan instabilitas politik melalui kampanye disinformasi dan provokasi.
Dengan menggelontorkan dana yang cukup besar, mereka berusaha menggoyahkan kepercayaan publik terhadap Mossadegh. Hal ini akhirnya memicu kerusuhan yang berujung pada jatuhnya pemerintahan yang sah dan menjadikan Iran kembali berada di bawah pemerintahan yang lebih pro-Barat.
Dampak Jangka Panjang Penggulingan Mossadegh
Setelah penggulingan Mossadegh, Iran kembali berada dalam pengaruh asing, dan usaha-usaha untuk mengembalikan kontrol atas sumber daya alamnya menjadi semakin sulit. Kehidupan rakyat Iran pun tidak membaik, sementara kekayaan alam yang semestinya diolah untuk kesejahteraan rakyat justru mengalir ke luar negeri.
Pemerintahan baru dibentuk dengan dukungan penuh dari Barat, namun ketidakpuasan masyarakat tetap ada. Hal ini menciptakan ketidakstabilan internal yang berujung pada Tindakan Revolusi Islam pada tahun 1979, yang membuat Iran sepenuhnya berbalik melawan pengaruh Barat. Saat itu, Mossadegh sedih, diasingkan, dan dicap sebagai pengkhianat selama bertahun-tahun.
Apa yang terjadi di Iran menunjukkan bagaimana kebijakan luar negeri yang didasarkan pada kepentingan energi dapat berujung pada perubahan drastis dan ketidakstabilan. Ironisnya, penanganan konflik ini terus menghantui hubungan antara Iran dan negara-negara Barat hingga saat ini.