www.rincilokal.id – Presiden Prabowo Subianto baru saja mengumumkan kenaikan gaji hakim yang berlaku mulai Kamis, 12 Juni 2025. Kenaikan ini bervariasi berdasarkan golongan, dengan jumlah tertinggi mencapai 280%. Keputusan ini diharapkan menjadi titik awal perbaikan dalam tubuh lembaga peradilan yang selama 18 tahun tidak mengalami kenaikan gaji.
Dalam konteks ini, Ketua Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai menyatakan bahwa kenaikan gaji diharapkan dapat menutup celah bagi praktik korupsi. Dengan terjaminnya kesejahteraan para hakim, kolusi dan penyalahgunaan wewenang diharapkan dapat diminimalkan.
Meski demikian, sejarah menunjukkan bahwa peningkatan gaji bagi aparatur negara bukanlah jaminan untuk menghapus perilaku korupsi. Kasus-kasus korupsi tetap marak, meskipun gaji mereka sudah beberapa kali mengalami kenaikan yang signifikan.
Sejarah Kenaikan Gaji dan Korupsi di Indonesia
Dalam sejarahnya, peningkatan gaji pejabat tidak selalu berbanding lurus dengan pengurangan perilaku korupsi. Hal ini dapat dilihat dari kasus yang terjadi pada abad ke-19 di Hindia Belanda. Ketika itu, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels diberi tugas oleh Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte untuk membenahi berbagai masalah yang ditinggalkan oleh VOC.
VOC, sebagai perusahaan dagang selama tiga abad, tidak pernah benar-benar menangani tata kelola negara dengan baik. Sistem birokrasi yang berantakan menjadi salah satu faktor utama munculnya korupsi yang melanda selama beberapa generasi.
Salah satu langkah awal yang diambil oleh Daendels adalah merombak struktur birokrasi, termasuk dengan menaikkan gaji para aparatur negara. Dalam pandangannya, kenaikan gaji dapat mengurangi potensi korupsi dan meningkatkan performa para pegawai negeri.
Namun, Daendels menghadapi tantangan besar; meskipun gaji sudah meningkat, ancaman hukuman tetap diperlukan untuk menekan tindakan koruptif. Ia bahkan tidak segan-segan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada mereka yang tertangkap melakukan korupsi.
Contoh konkret dari kegagalan tersebut terlihat pada kasus J.F.P Filz, seorang perwira kolonel yang ditugaskan untuk menjaga Maluku. Meskipun menerima gaji tinggi, ia tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya dan menyebabkan kerugian besar bagi negara.
Kasus J.F.P Filz dan Dampaknya
Setelah ditugaskan oleh Daendels untuk melindungi Maluku, Filz tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Pada tahun 1810, serangan tentara Inggris berhasil menggulingkan kekuasaan Prancis di Ambon, yang merupakan pusat perdagangan rempah-rempah pada masa itu.
Penyerangan ini membawa dampak serius, karena hilangnya Ambon berarti hilangnya pendapatan negara yang signifikan. Alhasil, Daendels mengambil tindakan tegas dengan membawa Filz ke pengadilan.
Sekalipun gaji yang didapatkan tinggi, kegagalan Filz dalam menjalankan tugasnya membuatnya dihadapkan pada tuntutan hukum. Ia didakwa korupsi dengan kerugian negara yang mencapai 3.000 ringgit, suatu jumlah yang tidak sedikit pada masa itu.
Pengadilan akhirnya memutuskan untuk menghukum mati Filz sebagai contoh bagi pejabat lainnya. Pada 10 Juni 1810, Filz dieksekusi, menandai sebuah momen penting dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia.
Keputusan ini menunjukkan bahwa meskipun gaji telah meningkat, tindakan tegas terhadap korupsi tetap diperlukan untuk memperbaiki integritas aparat negara. Ini menandakan bahwa aspek moral dan etika memainkan peran yang sama pentingnya dengan ukuran gaji.
Refleksi dari Sejarah hingga Kini
Melihat kembali sejarah ini, kita dapat menarik banyak pelajaran berharga. Kenaikan gaji tanpa adanya pengawasan yang ketat serta komitmen moral yang tinggi tidak akan membawa perubahan signifikan dalam mengatasi korupsi. Para pemimpin masa kini perlu memahami bahwa perbaikan sistem harus mencakup pendidikan dan pembinaan karakter.
Model baru kepemimpinan sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan korupsi yang masih ada. Bahkan, dengan berbagai alat hukum yang ada, solusi jangka panjang perlu difokuskan pada pencegahan dan pendidikan mengenai integritas dan etika.
Dengan langkah yang tepat dan kesadaran kolektif, diharapkan generasi mendatang bisa menikmati lingkungan yang lebih bersih dari korupsi. Tidak hanya melalui janji peningkatan gaji, tetapi juga dengan komitmen untuk melawan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan secara tegas dan konsisten.
Sejarah menunjukkan bahwa janji kosong tidaklah cukup; tindakan nyata dan transparansi harus menjadi pilar dari setiap upaya reformasi. Hanya dengan demikian, harapan untuk menciptakan sistem yang bebas korupsi dapat terwujud, demi masa depan yang lebih baik untuk bangsa ini.
Pelajaran dari masa lalu harus dijadikan pegangan dalam mengatasi masalah serupa di masa kini dan mendatang. Dengan menciptakan mekanisme yang lebih ketat dan meningkatkan kesadaran dalam diri setiap aparatur negara, harapan akan perubahan yang signifikan masih mungkin untuk dicapai.