www.rincilokal.id – Royalti musik kini menjadi indikator penting yang mencerminkan dinamika politik dan keadaan ekonomi dalam industri kreatif. Perdebatan terkait pemungutan, tarif, dan distribusi royalti tak terhindarkan dari kepentingan kebijakan, membuat isu ini semakin relevan di tengah perkembangan teknologi dan digitalisasi. Ketika angka-angka pengumpulan dan distribusi meningkat, dampaknya terhadap industri kreatif mulai terukur dan nyata.
Di Indonesia, pengaturan mengenai royalti musik diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021. Peraturan ini menegaskan bahwa pengelolaan royalti dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dengan dukungan data dan sistem informasi yang transparan untuk mempercepat proses pelaporan dan distribusi.
Selanjutnya, pada tahun 2025, pemerintah berencana menerbitkan aturan pelaksanaan yang memperjelas definisi pemanfaatan layanan publik. Regulasi ini bertujuan untuk memperkuat peran data yang menyokong sistem pengelolaan royalti, sehingga menghasilkan proses yang lebih akuntabel bagi semua pihak yang terlibat.
Pentingnya Regulasi bagi Ekonomi Kreatif di Indonesia
Kebijakan ini tidak hanya memberi arahan, tetapi juga diikuti oleh pemerintah dengan komunikasi yang jelas. Pembayaran royalti dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap karya kreatif dan wajib dilakukan oleh pengguna lagu di ruang publik, baik digital maupun fisik.
Hasil dari kebijakan ini mulai menunjukkan dampak positif. Hingga akhir Desember 2024, LMKN berhasil menghimpun royalti mencapai sekitar Rp 70 miliar. Capaian ini menjadi yang tertinggi sejak lembaga tersebut didirikan, sesuai dengan data yang dipublikasikan oleh otoritas terkait.
Pada sisi distribusi, terjadi peningkatan yang signifikan, mencatat pertumbuhan dari Rp 27,8 miliar pada 2022 menjadi Rp 54,2 miliar pada 2024. Peningkatan ini menunjukkan bahwa regulasi yang baik dan penguatan infrastruktur data dapat memberikan kontribusi nyata terhadap ekonomi kreatif.
Dampak Model Tata Kelola di Negara Lain
Jika kita melihat ke Jepang, JASRAC menunjukkan tata kelola yang disiplin. Di tahun fiskal 2023, JASRAC mencapai rekor distribusi sebesar 135,1 miliar yen, menyalurkan lebih dari tiga juta karya. Hal ini memperlihatkan bahwa sistem yang baik mampu mendorong kepercayaan pasar dan membuat friksi politik lebih mudah dikelola.
Pada tahun fiskal berikutnya, JASRAC kembali mencatat capaian yang mengesankan, terutama dari kategori layanan langganan. Dengan nilai distribusi yang mencapai lebih dari 53,18 miliar yen, ini menjadi bukti bahwa pasar musik semakin berkembang dan membutuhkan transparansi yang lebih baik.
Dalam konteks Korea Selatan, data menunjukkan bahwa jumlah koleksi royalti meningkat signifikan. Di tahun 2024, KOMCA mengumpulkan 436,5 miliar won dan mendistribusikan 423,5 miliar won kepada pencipta, berdasarkan pemanfaatan streaming dan pertunjukan langsung yang semakin meluas.
Tantangan dan Pelajaran dari Dinamika Pasar di Asia
Thailand menunjukkan pola yang berbeda, dengan dominasi ekonomi digital di mana tata kelola harus beradaptasi. Tren global menunjukkan bahwa pendapatan dari digitalisasi semakin meningkat, dengan kebutuhan mendesak untuk integrasi dan akurasi data dalam penagihan dan distribusi royalti.
Dalam praktiknya, Music Copyright Thailand berkomitmen untuk mendorong otomatisasi dan audit berbasis data untuk menciptakan proses yang lebih efisien. Hal ini menunjukkan pentingnya adaptasi yang cepat terhadap perubahan perilaku konsumsi dalam industri musik.
Perbandingan ini memperlihatkan beberapa benang merah yang relevan bagi Indonesia, pertama adalah pentingnya kepastian data. Kejelasan ritme pelaporan dan keterlacakan penggunaan terbukti dapat meningkatkan kepercayaan terhadap sistem dan mengurangi resistensi terhadap kebijakan.
Kedua, transparansi rantai nilai menjadi kunci untuk menghindari kontroversi. Meskipun Korea Selatan mencatatkan angka koleksi dan distribusi yang baik, tetap saja diskursus mengenai porsi yang diterima kreator tetap ada. Oleh karena itu, penting untuk menyediakan data yang granular terkait biaya dan kecepatan distribusi secara publik.
Ketiga, desain untuk digital sejak awal menjadi syarat pokok agar tata kelola tetap relevan dengan tuntutan konsumsi saat ini. Ini terlihat jelas dalam laporan dari jaringan internasional yang menunjukkan tingginya porsi digital.
Peningkatan distribusi LMKN dari Rp 27,8 miliar pada 2022 menjadi Rp 54,2 miliar pada 2024 mencerminkan bahwa regulasi yang tepat dan penguatan infrastruktur bisa membawa perubahan positif. Masyarakat harus memahami bahwa tata kelola royalti yang baik bukan hanya menuntaskan polemik, melainkan juga bisa menggerakkan ekonomi kreatif melalui arus kas yang lebih adil kepada para pencipta. Ini sekaligus mendorong investasi konten yang berkelanjutan, penting bagi pertumbuhan industri kreatif di Indonesia ke depan.